Friday, August 20, 2010

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM SISDIKNAS

Dalam bab ini penulis akan menganalisa tentang konsep pendidikan Multikultural dalam Sistem pendidikan nasional di Indonesia, Memperbincangkan konsep pendidikan multikultural ditengah kehidupan masyarakat yang masih rawan konplik bernuansa SARA seperti sekarang tentunya sangat signifikan. Mungkin dengan pendidikan multikultural dapt menjadi salah satu solusi bagi pendidikan di Indonesia. Apalagi semenjak ada himbauan presiden megawati sukarno putri kepada departemen agama untuk mengembangkan pola pendidikan agama yang berwawasan multikultural. Hingga kini belum muncul respon sungguh-sungguh untuk menindaklanjutinya. Wacana pendidikan multikulturalisme memang sempat menghangat di mass media dan banyak menjadi bahan diskusi di sejumlah forum, tapi sayangnya tidak diikuti dengan sejumlah upaya secara sungguh-sungguh dan kontinue untuk mempormulasikannya kedalam gagasan yang lebih aflikatif. Bahkan dapat dikatakan, upaya mempromosikan konsep pendidikan multikultural sebagai bagian dari upaya meredam potensi konflik horisontal maupun vertikal bangsa akibat salah paham soal SARA belum berjalan secara signifikan. Sebaliknya para elit politik dan elit agama, atau pakar ilmu sosial dalam menganalisis akar persoalan konplik cenderung menjadikan kesenjangan ekonomi dan sosial sebagai kambing hitam. Amat sedikit yang mau mengakui kalau persoalan kpnplik dan kekerasan itu berkait erat dengan praktik pengajaran (pendidikan) agama dan moral yang belum memupuk kerukunan bersama.
Sebagai implikasinya, upaya-upaya memperlunak kebekuan dan mencairkan kekakuan pemikiran keagamaan dan kemanusiaan dari masing- masing agama dan budaya belum dianggap terlalu penting untuk digiring kearah pendidikan. Mulai dari segi materi dan metodelogi yang diajarkan disekolah, pesantren, seminar, dan masyarakat umumnya, memiliki kencenderungan untuk mengajarkan pendidikan agama secara parsial (kulitnya saja). Materi pendidikan agama, misalnya, lebih terfokus pada upaya mengurusi masalah keyakinan seorang hamba dengan tuhannya. Seakan-akan masalah surga atau kebahagian hanya dapat diperoleh dengan cara ibadah atau aqidah saja. Sebaliknya pendidikan agama kurang peduli dengan isu-isu umum semacam sikap antikorupsi, wajibnya transformasi sosial, dan kepadulian terhadap sesama.
Multikulturalisme merupakan pilihan atau resiko yang perlu diambil oleh keputusan masyarakat bangsa indonesia agar dapat survive dimasa depan. Multikulturalisme merupakan suatu resiko yang perlu diambil didalam membina masyarakat bangsa Indonesia. Diatas konsep multikulturalisme inilah diambil keputusan-keputusan yang rasional, demokratis, paham pengembangan liberalisme yang tepat, pengakuan terhadap kebhinekaan budaya masyarakat dan bangsa Indonesia, adanya kebebasan beragama dan beribadah sesuai dengan keyakinannya, demikian pula membangun masyarakat Indonesia yang multikultural, serta menjaga persatuan dan kesatuan serta tekad untuk membangun suatu dunia yang lain, yaitu dunia yang bebas dari kemiskinan serta pengakuan terhadap hak asasi semua manusia Indonesia.
Fenomena diatas tentu saja patut disesalkan. Pasalnya, saat ini konsep pendidikan multikulturalisme yang berintikan penekanan upaya internalisasi dan karakterisasi sikap toleransi terhadap perbedaan agama, ras, suku, adat dan lain-lain dikalangan peserta didik sangat kita butuhkan. Alasannya, kondisi situasi bangsa saat ini belum benar-benar steril dari ancaman konplik etnis dan agama, radikalisme agama, separatisme, dan disintegrasi bangsa. Bahkan dapat dikatakan serangkaian kerusuhan yang memakan ribuan korban tewas seperti kasus pekalongan (1995), Tasikmalaya (1996), Rengasdengklok (1997), Sanggauledo, Kalimantan Barat (1996 dan1997), Ambon dan Maluku sejak 1999, sampai Sampit, Kalimantan Timur (2000) sewaktu-waktu bisa dapat terjadi jika tanpa antisipatif secara dini.untuk itu, menghadirkan konsep pendidikan multikultural merupakan bagian dari usaha komprensif dalam mencegah dan menanggulangi konflik bernuansa SARA.
Disamping itu, kita juga telah berkomitmen untuk mewujudkan tatanan masyarakat indonesia baru yang lebih toleran dan dapat menerima dan memberi didalam perbedaan budaya (multikultural), demokratis dalam perikehidupannya (democratizatioan), mampu menegakkan keadilan dan hukum (law enforcement), memiliki kebangsaan diri baik secara individual maupun kolektif (human dignity) serta mendasarkan diri pada kehidupan beragama dalam pergaulannya (religionism).1

Menurut Zakiyuddin Baidhawy Menyatakan:s
Bahwa paradigma pendidikan multikultural mencakup subjek-subjek tentang ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang sosial, budaya ekonomi, dan lain-lain. Pendidikan multikultural yang mulai berkembang di Indonesia lebih diarahkan agar semua entitas bangsa dapat masuk kedalam lembaga yang disebut pendidikan, tanpa memandang miskin, kaya, priyayi, santri, dan seterusnya. Mengajarkan multikulturalisme lebih dari memastikan bahwa peserta didik dalam suatu kelas atau sekolah belajar dar berbagai latar belakang.2

Kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia diberkahi dengan kenyataan adanya berbagai budaya etnis sebagaimana yang diakuai didalam lambang negara “Bhineka Tunggal Ika.” Lambang negara tersebut bukan sesuatu yang telah jadi tapi yang menjadi. Oleh sebab itu Bhineka Tunggal Ika merupakan pengertian kesejarahan masyarakat dan bangsa Indonesia karena menunjukan keadaan masa lalu, persoalan masa kini, dan tugas untuk mewujudkannya dimasa yang akan datang. Keanekaan Indonesia kemudian dikenali, diakui, dan dikukuhkan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi pedoman kehidupan bangsa Indonesia secara menyeluruh dan yang berlaku hingga saat ini, sebagai realisasi dari rumusan abstrak pengenalan, pengakuan, dan pengukuhan keanekaan itu, di bangun berbagai program pendokumentasian, pemahaman dan pelestaraian aneka budaya bangsa Indonesia sebagaimana yang tampak dalam berbagai program pembangunan dimasa Orde Baru. Proses ini merupakan suatu proses yang berkisanambungan tanpa akhir, karena merupakan suatu tugas dari setiap anggota masyarakat Indonesia yang terdiri dari berjenis-jenis etnis untuk bertekad membangun suatu masyarakat yang bersatu. Multikulturalisme merupakan suatu masalah yang mendasar, yang berkesinambungan, dan yang menentukan mati hidupnya negara-bngsa Indonesia.

Menurut Franz Magnis Suseno:
Didalam masa kritis yang dilewati oleh bngsa Indonesia pada akhir-akhir ini, dengan terjadinya berbagai gesekekan horizontal, menunjukan gejala-gejala pengkhianatan terhadap tiga asas kehidupan masyarakat bangsa Indonesia yaitu: Pertama, pengkhianatan terhadap sumpah pemuda tahun 1928, yaitu keinginan untuk membangun satu bangsa, yaitu bangsa Indonesia. Kedua, pengkhianatan terhadap kesepakatan untuk hidup bersama dibawah payung Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terlihat gejala-gejala separatisme untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Gerakan ini tentunya lahir karena kekhilafan-kekhilafan yang kita buat, antara lain dengan meremehkan eksistensi kebhinekaan budaya bangsa Indonesia dan terlalu mementingkan budaya dari satu-dua kelompok entis saja. Ketiga, penghianatan terhadap ikrar bersama untuk hidup rukun, penuh toleransi, karena diikat oleh satu tujuan yaitu ingin membangun satu masyarakat ynag adil dan makmur untuk seluruh masyarakat.2

Hingga saat ini, wacan pendidikan multikultural di Indonesia belum tuntas dikaji oleh berbagai kalangan, termasuk para pakar dan pemerhati pendidikan sekalipun. Penelitian ini dimaksudkan sebagai sumbangsih pemikiran terhadap fenomena aktual tentang wacana baru dalam dunia pendidikan di Indonesia, yakni pendidikan multikultural.
Perlu diketahui, bahwa di Indonesia pendidikan multikultural relatif baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagai masyarakat Indonesia yang heterogen, plural. Terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru diberlakukan sejak Tahun 1999 hingga saat ini. Pendidikan multikultural yang dikembngkan di Indonesia sejalan dengan pengembangan demokrasi yang dijalankan sebagai counter terhadap kebijakan desenttralisasi dan otonomi daerah (otoda).

Menurut Azumardi azra:
pada level nasional, berakhirnya sentralisme kekuasaan yang pada masa orde baru memaksakan monokulturalisme yang nyaris seragam, memunculkan reaksi balik, yang mengandung implikasi negatif pada rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang multikultural.” Berbarengan dengan otonomisasi dan desentralisasi kekuasaan pemerintah, juga terjadi peningkatan fenomena atau gejala “ provinsialisme” yang hampir tumpang tindih dengan “etnisitas.” Kecenderungan ini jika tidak terkendali, akan dapat menimbulkan tidak hanya disintegrasi sosio-kultural yang amat parah, bahkan juga disintegrasi politik.3

A. Pendidikan Multikultural dan Tantangan Globalisasi

Globalisai adalah proses pertumbuhan negara-negara maju, yaitu Amerika, Eropa dan jepang yang melakukan ekspansi besar-besaran. Kemudian berusaha mendominir dunia dengan kekuatan, globalisa juga merupakan proses yang berlangsung panjang dan bergerak maju secara dramastis dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini, dikendalikan oleh banyak kekuatan termasuk teknolgi baru dan bertambahnya arus modal secara bebas. Dalam menghadapi tantangan globalisasi yang sedang melanda dunia, Maka dunia pendidikan harus mempersiapkan untuk menghadapi tantangan globalisasi pada semua jenjang pendidikan yang dapat dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertarap internasional, baik oleh pemerintah pusat maupun oleh pemerintah daerah (pasal 50 ayat 3) untuk itu perlu dibentuk suatu badan hukum pendidikan, sehingga semua penyelenggara pendidikan dan satuan pendidikan formal, baik yang didirikan oleh pemerintah maupun masyarakat, harus berbentuk badan hukum pendidikan (pasal 53 ayat1). Badan hukum pendidikan yang dimaksud akan berfungsi memberikan pelayanan kepada peserta didik (pasal 53 ayat 2). Dengan demikian, badan hukum pendidikan akan memberikan landasan hukum yang kuat kepada penyelenggara pendidikan dan satuan pendidikan nasional yang bertaraf internasional dalam menghadapi persaingan global.
Dalam menghadapi globalisasi, maka penyerapan tenaga kerja akan ditentukan oleh kompetensi, yang diberikan oleh penyelenggara satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi kepada peserta didik dan masyarakat yang dinyatakan lulus setelah mengikuti uji kompetensi tertentu (pasal 61 ayat 3). Kemajuan komunikasi yang global seperti internet, juga telah membawa dampak terhadap pendidikan moral kita, lihat saja dengan adanya internet dengan mudahnya gambar-gambarfornografi diakses oleh anak-anak usia sekolah melalui teknologi informasi itu. Hal ini merupakan tantangan bagi dunia pendidikan kita, yang diamana di satu sisi harus mengikuti kemajuan ilmu dan teknologi disisi lain berimplikasi kepada rusaknya nilai-nilai moral akibat berbenturan dengan nilai budaya luar seiring dengan kemajuan informasi yang mengglobal. Adapun Dalam mengantisifasi perkembngan global dan kemajuan teknologi komunikasi, maka pendidikan jarak jauh diakomodasikan dalam Sisdiknas, sebagai paradigma baru pendidikan. Pendidikan jarak jauh tersebut dapat diselenggarakan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan, yang berfungsi untuk memberi pelayanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler (pasal 31 ayat 1dan 2).4

Menurut Chirzin:
Proses globalisasi dengan percepatan mengglindingnya liberalisasi ekonomi dan sistem perdagangan bebas secara global, menghadapkan dunia pendidikan pada tantangan-tantangan baru yang tidak sederhana. Globalisasi membuat dunia menjadi sebuah kampung kecil yang memudahkan setiap warga dunia untuk berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Situasi yang demikian mengakibatkan terbukanya ide atau gagasan dari satu tempat ketempat lain sehingga sulit disensor jika bertentangan dengan nilai-nilai budaya penerima ide atau gagasan.5

Dalam perkembangannya pendidikan di Indonesia mengalami perubaha-perubahan yang boleh dikatakan agak lumayan maju,walaupun belum sepenuhnya memenuhi target dari tujuan bangsa Indonesia itu sendiri. Pendidikan hadir di tengah-tengah masyarakat memiliki banyak fungsi yang tidak hanya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi juga berfungsi sebagai pencerdasan diri, sosial, negara bangsa, bahkan dunia. Lebih khusus di Indonesia karena, Hal ini sangat relefan sekali dengan konsep pendidikan multikultural yang dimana pendidikan ini tidak mempeta-petakan baik itu bahasa, etnis, kultur, budaya, ras, agama, status sosial, dan lain sebagainya. Fungsi pendidikan sedikit disinggung pada babII pasal 3 dalam UU Sisdiknas 2003, bahwa fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.6
Ada beberapa fungsi pendidikan sebagaimana tela dikemukakan diatas. Setidaknya hal itu bisa dilihat dalam dua presfektif. Pertama, secara sempit, pendidikan berfungsi untuk membantu secara sadar perkembangan jasmani dan rohani para peserta didik. Kedua, secara luas, pendidikan berfungsi sebagai pengembangan pribadi, pengembangan warga negara, pengembangan kebudayaan dan pengembangan bangsa. Dalam pemaparan diatas maka jelas pendidikan sangat penting sekali untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makamur dan yang inklusif bagi semua lapisan masyarakat Indonesia. Pendidikan juga Selain berfungsi sebagaimana yang telah disebutkan diatas, pendidikan bisa juga berfungsi sebagai investasi jangka panjang.

Menurut Nurkolis:
Pendidikan sebagai investasi jangka panjang sumber daya manusia (SDM) Indonesia masih sangat lemah untuk mendukung perkembangan industri dan ekonomi. Penyebannya pemerintah selama ini tidak pernah menempatkan pendidikan sebagai prioritas terpenting. Masyarakat Indonesia, mulai dari yanga awam hingga politisi hingga pejabat pemerintah, hanya berorientasi mengejar uang untuk memperkaya diri sendiri dan tidak pernah berfikir panjang.

A. UU Sisdiknas Kearah Pendidikan Multikultural

Pameo masyarakat mengenai sistem pendidikan nasional kita yang mengatakan, ganti mentri pendidikan, pasti bakal ganti peraturan, agaknya mengandung kebenaran. Kenyataan yang muncul setiap ganti mentri biasanya adalah berubahnya orientasi, alokasi anggaran, kurikulum baik mengenai volume kurikulum muatan nasional (kurnas) dan kurikulum muatan lokal (kurlok), atau mengenai prosentase jam mata pelajaran. Khususnya antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, dan atau mengenai penekanan-penekanan khusus orientasi kurikulum yang dibangun seperti metode CBSA, Manajemen Berbasis Sekolah (Scool Based Management), Sekolah Berbasis Kompetensi (School Based Competence), dan Sekolah Berbasis Masyarakat (Scool Based Community) dan aturan-aturan lain kependidikan lainnya, seperti kepangkatan guru atau dosen, karakteristik kelulusan, akreditasi, dan kelayakan sistem sekolah. Kebijakan yang dikeluarkan tak pelak mengundang kritik dan sekaligus harapan bagi keberadaan sistem pendidikan yang lebih baik.
UU Sisdiknas 2003, misalnya, adalah salah satu Undang-Undang yang sarat kontroversi. Hal ini terlihat dari proses pengesahan rancangan Undang-Undang tersebut. Masyarakat pendidikan terbelah antara yang pro dan yang kontra. Reaksi atas RUU Sisdiknas cukup masif, tidak saja dipusat(Jakarta), tetapi juga di beberapa daerah di Indonesia seperti Medan, Palembang, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Manado, Makasar, dan Nusa Tenggara Timur. Semua sivitas akademika perguruan tinggi dan sekolah-sekolah berdemontrasi berkenaan dengan RUU Sisdiknas itu sebagai usaha memperjuangkan aspirasinya baik yang pro maupun yang kontra yang sesuai dengan visi, misi, dan tradisi yang dianutnya. Bahkan para pemuka agama dan mayarakat khususnya islam dan kristen tampil kepermukaan untuk menuarakan apa yang seharusnya dikukuhkan dalam RUU Sisdiknas. Jika dipetakan secara terbuka akan tersibak dua kubu yang kontroversial demikian, mayoritas penganut agama Islam cenderung menyetujui dan sedangkan penganut agama Kristen cenderung tidak setuju.
Ketetapan UU Sisdiknas 2003, sebagai usaha”Politik” kearah cita-cita bersama yang mulia, ternyata menuai kontraversi dan kritikan. Gelombang reaksi yang pro dan kontra begitu memanas dari masyarakat khususnya begitu juga bagi para pelaku pendidikan dan pemuka agama yang masing-masing berseteru ingin menyampaikan dan sekaligus mempertahankan aspirasinya.
Pertama, RUU Sisdiknas mengemuka pertama kali karena adanya dua versi: Versi DPR (27 Mei 2002) dan Versi pemerintah (20 dan 28 Februari 2003). Dengan adanya dua versi ini kemudian melahirkan polemik yang membawa kontroversi dan kecurigaan dimasyarakat. Masyarakat menilai bahwa pembahasan RUU itu, baik di DPR maupun di pemerintah, sarat akan pelbagai kepentingan politik.
Kedua, RUU Sisdiknas dinilai oleh mereka yang kontra bahwa negara ingin mengambil alih peran keluarga secara menyeluruh dalam konteks pendidikan agama. UU Pendidikan yang sejatinya perlu membangun sistem pendidikan yang membebaskan (Fredom for) dipandang menjadi kerdil karena terjebak pada sentralisme yang terlalu kuat (Pasal 58 Ayat 2, Pasal 6, dan Pasal 63).
Ketiga, RUU Sisdiknas mengesankan mengebiri dan mengerdilkan anak didik dalam pengetahuan keagamaan. Dalam pandangan mereka anak didik dinilai hanya diperkenalkan hanya mempelajari dan memahami agamanya sendiri. Namun dalam pandangan sebagian orang yang lain, bahwa didalam lembaga pendidikan terdapat unsur-unsur pembelajaran informal disamping formal. Keakraban yang dinamis dan harmonis dikalangan pelajar yang beragam akan terjalin bilamana masing-masing pelajar secara umum mengenal atau mengetahui ajaran agama lain. Dengan mengerti agama-agama lain maka dimungkinkan para anak didik dapat berkomunikasi dengan lebih berempati, saling terbuka, kerja sama lebih erat, dan lebih menerima dan menghargai kawan yang beragama lain. Tentu hal yang demikian akan mengharuskan adanya Guru atau peserta didik yang inklusif agar tercipta suasana keterbukaan yang menghargai antar sesama perbedaan, untuk mewujudkan masyarakat yang menerima atas segala perbedaan yang ada dalam masyarakat dan bangsa Indonesia kita ini.7

No comments:

Post a Comment