Tuesday, June 29, 2010

HUKUM PIDANA PERDATA


Kapan Suatu Tindakan Disebut Perbuatan Pidana/Perdata ?

Dalam melakukan berbagai aktivitas sehari-hari kita sering melakukan perbuatan hukum, seperti melakukan sewa menyewa, jual beli dan lain-lain. Disebut perbuatan hukum karena tindakan tersebut mempunyai akibat yang dapat dipertanggung jawabkan secara hukum atau diakui oleh Negara (sebagai pembuat dan penegak hukum).

Untuk mendapatkan pengakuan dari Negara, dalam melakukan tindakan hukum diperlukan syarat-syarat yang bersifat administratif. Misal: dalam melakukan jual beli tanah, agar dianggap sah maka diperlukan bukti-bukti berupa akta jual beli berikut kwitansi pembayaran. Ini penting untuk mencegah terjadinya tindakan sepihak atau wanprestasi salah satu pihak di kemudian hari.

Aturan-aturan mengenai tindakan hukum tersebut dibedakan menjadi dua (2) yaitu: Hukum Pidana dan Hukum Perdata.

Apakah beda Hukum Pidana dan Hukum Perdata?

Hukum Perdata mengatur hubungan hukum antara orang satu dengan orang lain dengan menitikberatkan pada kepentingan perorangan.

Sedang hukum pidana adalah hukum yang mengatur hubungan antara seorang anggota masyarakat (sebagai warga Negara) dengan Negara (sebagai penguasa tata tertib masyarakat).

Bagaimana penerapan ke dua hukum tersebut?

Pelanggaran terhadap aturan hukum perdata baru dapat diambil tindakan oleh pengadilan setelah ada pengaduan oleh pihak berkepentingan yang merasa dirugikan (disebut: penggugat)

Pelanggaran terhadap aturan hukum pidana segera diambil tindakan oleh aparat hukum tanpa ada pengaduan dari pihak yang dirugikan, kecuali tindak pidana yang termasuk dalam delik aduan seperti perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, pencurian oleh keluarga, dll.

HUKUM ISLAM DI INDONESIA

Pendahuluan
Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia adalah unsur paling mayoritas. Dalam tataran dunia Islam internasional, umat Islam Indonesia bahkan dapat disebut sebagai komunitas muslim paling besar yang berkumpul dalam satu batas teritorial kenegaraan.
Karena itu, menjadi sangat menarik untuk memahami alur perjalanan sejarah hukum Islam di tengah-tengah komunitas Islam terbesar di dunia itu. Pertanyaan-pertanyaan seperti: seberapa jauh pengaruh kemayoritasan kaum muslimin Indonesia itu terhadap penerapan hukum Islam di Tanah Air –misalnya-, dapat dijawab dengan memaparkan sejarah hukum Islam sejak komunitas muslim hadir di Indonesia.
Di samping itu, kajian tentang sejarah hukum Islam di Indonesia juga dapat dijadikan sebagai salah satu pijakan –bagi umat Islam secara khusus- untuk menentukan strategi yang tepat di masa depan dalam mendekatkan dan “mengakrabkan” bangsa ini dengan hukum Islam. Proses sejarah hukum Islam yang diwarnai “benturan” dengan tradisi yang sebelumnya berlaku dan juga dengan kebijakan-kebijakan politik-kenegaraan, serta tindakan-tindakan yang diambil oleh para tokoh Islam Indonesia terdahulu setidaknya dapat menjadi bahan telaah penting di masa datang. Setidaknya, sejarah itu menunjukkan bahwa proses Islamisasi sebuah masyarakat bukanlah proses yang dapat selesai seketika.
Untuk itulah, tulisan ini dihadirkan. Tentu saja tulisan ini tidak dapat menguraikan secara lengkap dan detail setiap rincian sejarah hukum Islam di Tanah air, namun setidaknya apa akan Penulis paparkan di sini dapat memberikan gambaran tentang perjalanan hukum Islam, sejak awal kedatangan agama ini ke bumi Indonesia hingga di era reformasi ini. Pada bagian akhir tulisan ini, Penulis juga menyampaikan kesimpulan tentang apa yang sebaiknya dilakukan oleh kaum muslimin Indonesia untuk –apa yang Penulis sebut dengan- “mengakrabkan” bangsa ini dengan hukum Islam.
Wallahu a’la wa a’lam!

Hukum Islam pada Masa Pra Penjajahan Belanda
Akar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara menurut sebagian ahli sejarah dimulai pada abad pertama hijriyah, atau pada sekitar abad ketujuh dan kedelapan masehi.[1] Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan nusantara, kawasan utara pulau Sumatera-lah yang kemudian dijadikan sebagai titik awal gerakan dakwah para pendatang muslim. Secara perlahan, gerakan dakwah itu kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak, Aceh Timur. Berkembangnya komunitas muslim di wilayah itu kemudian diikuti oleh berdirinya kerajaan Islam pertama di Tanah air pada abad ketiga belas. Kerajaan ini dikenal dengan nama Samudera Pasai. Ia terletak di wilayah Aceh Utara.[2]
Pengaruh dakwah Islam yang cepat menyebar hingga ke berbagai wilayah nusantara kemudian menyebabkan beberapa kerajaan Islam berdiri menyusul berdirinya Kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Tidak jauh dari Aceh berdiri Kesultanan Malaka, lalu di pulau Jawa berdiri Kesultanan Demak, Mataram dan Cirebon, kemudian di Sulawesi dan Maluku berdiri Kerajaan Gowa dan Kesultanan Ternate serta Tidore.
Kesultanan-kesultanan tersebut –sebagaimana tercatat dalam sejarah- itu tentu saja kemudian menetapkan hukum Islam sebagai hukum positif yang berlaku. Penetapan hukum Islam sebagai hukum positif di setiap kesultanan tersebut tentu saja menguatkan pengamalannya yang memang telah berkembang di tengah masyarakat muslim masa itu. Fakta-fakta ini dibuktikan dengan adanya literatur-literatur fiqh yang ditulis oleh para ulama nusantara pada sekitar abad 16 dan 17.[3] Dan kondisi terus berlangsung hingga para pedagang Belanda datang ke kawasan nusantara.

Hukum Islam pada Masa Penjajahan Belanda
Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara dimulai dengan kehadiran Organisasi Perdagangan Dagang Belanda di Hindia Timur, atau yang lebih dikenal dengan VOC. Sebagai sebuah organisasi dagang, VOC dapat dikatakan memiliki peran yang melebihi fungsinya. Hal ini sangat dimungkinkan sebab Pemerintah Kerajaan Belanda memang menjadikan VOC sebagai perpanjangtangannya di kawasan Hindia Timur. Karena itu disamping menjalankan fungsi perdagangan, VOC juga mewakili Kerajaan Belanda dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja dengan menggunakan hukum Belanda yang mereka bawa.
Dalam kenyataannya, penggunaan hukum Belanda itu menemukan kesulitan. Ini disebabkan karena penduduk pribumi berat menerima hukum-hukum yang asing bagi mereka. Akibatnya, VOC pun membebaskan penduduk pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini telah mereka jalankan.[4]
Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa “kompromi” yang dilakukan oleh pihak VOC, yaitu:
1.Dalam Statuta Batavia yag ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama Islam.
2. Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di tengah masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.
3. Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah lain, seperti di Semarang, Cirebon, Gowa dan Bone.
Di Semarang, misalnya, hasil kompilasi itu dikenal dengan nama Kitab Hukum Mogharraer (dari al-Muharrar). Namun kompilasi yang satu ini memiliki kelebihan dibanding Compendium Freijer, dimana ia juga memuat kaidah-kaidah hukum pidana Islam.[5]
Pengakuan terhadap hukum Islam ini terus berlangsung bahkan hingga menjelang peralihan kekuasaan dari Kerajaan Inggris kepada Kerajaan Belanda kembali. Setelah Thomas Stanford Raffles menjabat sebagai gubernur selama 5 tahun (1811-1816) dan Belanda kembali memegang kekuasaan terhadap wilayah Hindia Belanda, semakin nampak bahwa pihak Belanda berusaha keras mencengkramkan kuku-kuku kekuasaannya di wilayah ini. Namun upaya itu menemui kesulitan akibat adanya perbedaan agama antara sang penjajah dengan rakyat jajahannya, khususnya umat Islam yang mengenal konsep dar al-Islam dan dar al-harb. Itulah sebabnya, Pemerintah Belanda mengupayakan ragam cara untuk menyelesaikan masalah itu. Diantaranya dengan (1) menyebarkan agama Kristen kepada rakyat pribumi, dan (2) membatasi keberlakuan hukum Islam hanya pada aspek-aspek batiniah (spiritual) saja.[6]
Bila ingin disimpulkan, maka upaya pembatasan keberlakuan hukum Islam oleh Pemerintah Hindia Belanda secara kronologis adalah sebagai berikut:
1. Pada pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan Politik Hukum yang Sadar; yaitu kebijakan yang secara sadar ingin menata kembali dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda.[7]
2. Atas dasar nota disampaikan oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem, Pemerintah Belanda menginstruksikan penggunaan undang-undang agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan pribumi dalam hal persengketaan yang terjadi di antara mereka, selama tidak bertentangan dengan asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum. Klausa terakhir ini kemudian menempatkan hukum Islam di bawah subordinasi dari hukum Belanda.[8]
3. Atas dasar teori resepsi yang dikeluarkan oleh Snouck Hurgronje, Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922 kemudian membentuk komisi untuk meninjau ulang wewenang pengadilan agama di Jawa dalam memeriksa kasus-kasus kewarisan (dengan alasan, ia belum diterima oleh hukum adat setempat). [9]
4. Pada tahun 1925, dilakukan perubahan terhadap Pasal 134 ayat 2 Indische Staatsregeling (yang isinya sama dengan Pasal 78 Regerringsreglement), yang intinya perkara perdata sesama muslim akan diselesaikan dengan hakim agama Islam jika hal itu telah diterima oleh hukum adat dan tidak ditentukan lain oleh sesuatu ordonasi.[10]
Lemahnya posisi hukum Islam ini terus terjadi hingga menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di wilayah Indonesia pada tahun 1942.

Hukum Islam pada Masa Pendudukan Jepang
Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan menyerah tanpa syarat kepada panglima militer Jepang untuk kawasan Selatan pada tanggal 8 Maret 1942, segera Pemerintah Jepang mengeluarkan berbagai peraturan. Salah satu diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942, yang menegaskan bahwa Pemerintah Jepag meneruskan segala kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Ketetapan baru ini tentu saja berimplikasi pada tetapnya posisi keberlakuan hukum Islam sebagaimana kondisi terakhirnya di masa pendudukan Belanda.[11]
Meskipun demikian, Pemerintah Pendudukan Jepang tetap melakukan berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat Islam di Indonesia. Diantaranya adalah:
1. Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa.
2. Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin oleh bangsa Indonesia sendiri.
3. Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU.
4. Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan oktober 1943.[12]
5. Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang mendampingi berdirinya PETA.
6. Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan kewenangan Pengadilan Agama
dengan meminta seorang ahli hukum adat, Soepomo, pada bulan Januari 1944 untuk menyampaikan laporan tentang hal itu. Namun upaya ini kemudian “dimentahkan” oleh Soepomo dengan alasan kompleksitas dan menundanya hingga Indonesia merdeka.[13]
Dengan demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti bagi posisi hukum Islam selama masa pendudukan Jepang di Tanah air. Namun bagaimanapun juga, masa pendudukan Jepang lebih baik daripada Belanda dari sisi adanya pengalaman baru bagi para pemimpin Islam dalam mengatur masalah-masalah keagamaan. Abikusno Tjokrosujoso menyatakan bahwa,
Kebijakan pemerintah Belanda telah memperlemah posisi Islam. Islam tidak memiliki para pegawai di bidang agama yang terlatih di masjid-masjid atau pengadilan-pengadilan Islam. Belanda menjalankan kebijakan politik yang memperlemah posisi Islam. Ketika pasukan Jepang datang, mereka menyadari bahwa Islam adalah suatu kekuatan di Indonesia yang dapat dimanfaatkan.[14]

Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan (1945)
Meskipun Pendudukan Jepang memberikan banyak pengalaman baru kepada para pemuka Islam Indonesia, namun pada akhirnya, seiring dengan semakin lemahnya langkah strategis Jepang memenangkan perang –yang kemudian membuat mereka membuka lebar jalan untuk kemerdekaan Indonesia-, Jepang mulai mengubah arah kebijakannya. Mereka mulai “melirik” dan memberi dukungan kepada para tokoh-tokoh nasionalis Indonesia. Dalam hal ini, nampaknya Jepang lebih mempercayai kelompok nasionalis untuk memimpin Indonesia masa depan. Maka tidak mengherankan jika beberapa badan dan komite negara, seperti Dewan Penasehat (Sanyo Kaigi) dan BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai) kemudian diserahkan kepada kubu nasionalis. Hingga Mei 1945, komite yang terdiri dari 62 orang ini, paling hanya 11 diantaranya yang mewakili kelompok Islam.[15] Atas dasar itulah, Ramly Hutabarat menyatakan bahwa BPUPKI “bukanlah badan yang dibentuk atas dasar pemilihan yang demokratis, meskipun Soekarno dan Mohammad Hatta berusaha agar aggota badan ini cukup representatif mewakili berbagai golonga dalam masyarakat Indonesia”.[16]
Perdebatan panjang tentang dasar negara di BPUPKI kemudian berakhir dengan lahirnya apa yang disebut dengan Piagam Jakarta. Kalimat kompromi paling penting Piagam Jakarta terutama ada pada kalimat “Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Menurut Muhammad Yamin kalimat ini menjadikan Indonesia merdeka bukan sebagai negara sekuler dan bukan pula negara Islam.[17]
Dengan rumusan semacam ini sesungguhnya lahir sebuah implikasi yang mengharuskan adanya pembentukan undang-undang untuk melaksanakan Syariat Islam bagi para pemeluknya. Tetapi rumusan kompromis Piagam Jakarta itu akhirnya gagal ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI. Ada banyak kabut berkenaan dengan penyebab hal itu. Tapi semua versi mengarah kepada Mohammad Hatta yang menyampaikan keberatan golongan Kristen di Indonesia Timur. Hatta mengatakan ia mendapat informasi tersebut dari seorang opsir angkatan laut Jepang pada sore hari taggal 17 Agustus 1945. Namun Letkol Shegeta Nishijima –satu-satunya opsir AL Jepang yang ditemui Hatta pada saat itu- menyangkal hal tersebut. Ia bahkan menyebutkan justru Latuharhary yang menyampaikan keberatan itu. Keseriusan tuntutan itu lalu perlu dipertanyakan mengingat Latuharhary –bersama dengan Maramis, seorang tokoh Kristen dari Indonesia Timur lainnya- telah menyetujui rumusan kompromi itu saat sidang BPUPKI.[18]
Pada akhirnya, di periode ini, status hukum Islam tetaplah samar-samar. Isa Ashary mengatakan,
Kejadian mencolok mata sejarah ini dirasakan oleh umat Islam sebagai suatu ‘permainan sulap’ yang masih diliputi kabut rahasia…suatu politik pengepungan kepada cita-cita umat Islam.[19]
Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan Periode Revolusi Hingga Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1950
Selama hampir lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia memasuki masa-masa revolusi (1945-1950). Menyusul kekalahan Jepang oleh tentara-tentara sekutu, Belanda ingin kembali menduduki kepulauan Nusantara. Dari beberapa pertempuran, Belanda berhasil menguasai beberapa wilayah Indonesia, dimana ia kemudian mendirikan negara-negara kecil yang dimaksudkan untuk mengepung Republik Indonesia. Berbagai perundingan dan perjanjian kemudian dilakukan, hingga akhirnya tidak lama setelah Linggarjati, lahirlah apa yang disebut dengan Konstitusi Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949.
Dengan berlakunya Konstitusi RIS tersebut, maka UUD 1945 dinyatakan berlaku sebagai konstitusi Republik Indonesia –yang merupakan satu dari 16 bagian negara Republik Indonesia Serikat-. Konstitusi RIS sendiri jika ditelaah, sangat sulit untuk dikatakan sebagai konstitusi yang menampung aspirasi hukum Islam. Mukaddimah Konstitusi ini misalnya, samasekali tidak menegaskan posisi hukum Islam sebagaimana rancangan UUD’45 yang disepakati oleh BPUPKI. Demikian pula dengan batang tubuhnya, yang bahkan dipengaruhi oleh faham liberal yang berkembang di Amerika dan Eropa Barat, serta rumusan Deklarasi HAM versi PBB.[20]
Namun saat negara bagian RIS pada awal tahun 1950 hanya tersisa tiga negara saja RI, negara Sumatera Timur, dan negara Indonesia Timur, salah seorang tokoh umat Islam, Muhammad Natsir, mengajukan apa yang kemudian dikenal sebagai “Mosi Integral Natsir” sebagai upaya untuk melebur ketiga negara bagian tersebut. Akhirnya, pada tanggal 19 Mei 1950, semuanya sepakat membentuk kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 1945. Dan dengan demikian, Konstitusi RIS dinyatakan tidak berlaku, digantikan dengan UUD Sementara 1950.
Akan tetapi, jika dikaitkan dengan hukum Islam, perubahan ini tidaklah membawa dampak yang signifikan. Sebab ketidakjelasan posisinya masih ditemukan, baik dalam Mukaddimah maupun batang tubuh UUD Sementara 1950, kecuali pada pasal 34 yang rumusannya sama dengan pasal 29 UUD 1945, bahwa “Negara berdasar Ketuhanan yang Maha Esa” dan jaminan negara terhadap kebebasan setiap penduduk menjalankan agamanya masing-masing. Juga pada pasal 43 yang menunjukkan keterlibatan negara dalam urusan-urusan keagamaan.[21] “Kelebihan” lain dari UUD Sementara 1950 ini adalah terbukanya peluang untuk merumuskan hukum Islam dalam wujud peraturan dan undang-undang. Peluang ini ditemukan dalam ketentuan pasal 102 UUD sementara 1950.[22] Peluang inipun sempat dimanfaatkan oleh wakil-wakil umat Islam saat mengajukan rancangan undang-undang tentang Perkawinan Umat Islam pada tahun 1954. Meskipun upaya ini kemudian gagal akibat “hadangan” kaum nasionalis yang juga mengajukan rancangan undang-undang Perkawinan Nasional.[23] Dan setelah itu, semua tokoh politik kemudian nyaris tidak lagi memikirkan pembuatan materi undang-undang baru, karena konsentrasi mereka tertuju pada bagaimana mengganti UUD Sementara 1950 itu dengan undang-undang yang bersifat tetap.[24]
Perjuangan mengganti UUD Sementara itu kemudian diwujudkan dalam Pemilihan Umum untuk memilih dan membentuk Majlis Konstituante pada akhir tahun 1955. Majlis yang terdiri dari 514 orang itu kemudian dilantik oleh Presiden Soekarno pada 10 November 1956. Namun delapan bulan sebelum batas akhir masa kerjanya, Majlis ini dibubarkan melalui Dekrit Presiden yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959. Hal penting terkait dengan hukum Islam dalam peristiwa Dekrit ini adalah konsiderannya yang menyatakan bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni menjiwai UUD 1945” dan merupakan “suatu kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Hal ini tentu saja mengangkat dan memperjelas posisi hukum Islam dalam UUD, bahkan –menurut Anwar Harjono- lebih dari sekedar sebuah “dokumen historis”.[25] Namun bagaiamana dalam tataran aplikasi? Lagi-lagi faktor-faktor politik adalah penentu utama dalam hal ini. Pengejawantahan kesimpulan akademis ini hanya sekedar menjadi wacana jika tidak didukung oleh daya tawar politik yang kuat dan meyakinkan.
Hal lain yang patut dicatat di sini adalah terjadinya beberapa pemberontakan yang diantaranya “bernuansakan” Islam dalam fase ini. Yang paling fenomenal adalah gerakan DI/TII yang dipelopori oleh Kartosuwirjo dari Jawa Barat. Kartosuwirjo sesungguhnya telah memproklamirkan negara Islam-nya pada tanggal 14 Agustus 1945, atau dua hari sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun ia melepaskan aspirasinya untuk kemudian bergabung dengan Republik Indonesia. Tetapi ketika kontrol RI terhadap wilayahnya semakin merosot akibat agresi Belanda, terutama setelah diproklamirkannya negara-boneka Pasundan di bawah kontrol Belanda, ia pun memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia pada tahun 1948. Namun pemicu konflik yang berakhir di tahun 1962 dan mencatat 25.000 korban tewas itu, menurut sebagian peneliti, lebih banyak diakibatkan oleh kekecewaan Kartosuwirjo terhadap strategi para pemimpin pusat dalam mempertahankan diri dari upaya pendudukan Belanda kembali, dan bukan atas dasar –apa yang mereka sebut dengan- “kesadaran teologis-politis”nya.[26]

Hukum Islam di Era Orde Lama dan Orde Baru
Mungkin tidak terlalu keliru jika dikatakan bahwa Orde Lama adalah eranya kaum nasionalis dan komunis. Sementara kaum muslim di era ini perlu sedikit merunduk dalam memperjuangkan cita-citanya. Salah satu partai yang mewakili aspirasi umat Islam kala itu, Masyumi harus dibubarkan pada tanggal 15 Agustus 1960 oleh Soekarno, dengan alasan tokoh-tokohnya terlibat pemberontakan (PRRI di Sumatera Barat). Sementara NU –yang kemudian menerima Manipol Usdek-nya Soekarno[27]- bersama dengan PKI dan PNI[28] kemudian menyusun komposisi DPR Gotong Royong yang berjiwa Nasakom. Berdasarkan itu, terbentuklah MPRS yang kemudian menghasilkan 2 ketetapan; salah satunya adalah tentang upaya unifikasi hukum yang harus memperhatikan kenyataan-kenyataan umum yang hidup di Indonesia.[29]
Meskipun hukum Islam adalah salah satu kenyataan umum yang selama ini hidup di Indonesia, dan atas dasar itu Tap MPRS tersebut membuka peluang untuk memposisikan hukum Islam sebagaimana mestinya, namun lagi-lagi ketidakjelasan batasan “perhatian” itu membuat hal ini semakin kabur. Dan peran hukum Islam di era inipun kembali tidak mendapatkan tempat yang semestinya.
Menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965 dan berkuasanya Orde Baru, banyak pemimpin Islam Indonesia yang sempat menaruh harapan besar dalam upaya politik mereka mendudukkan Islam sebagaimana mestinya dalam tatanan politik maupun hukum di Indonesia. Apalagi kemudian Orde Baru membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi yang sebelumnya dipenjara oleh Soekarno. Namun segera saja, Orde ini menegaskan perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945. Bahkan di awal 1967, Soeharto menegaskan bahwa militer tidak akan menyetujui upaya rehabilitasi kembali partai Masyumi.[30] Lalu bagaimana dengan hukum Islam?
Meskipun kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional tidak begitu tegas di masa awal Orde ini, namun upaya-upaya untuk mempertegasnya tetap terus dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh K.H. Mohammad Dahlan, seorang menteri agama dari kalangan NU, yang mencoba mengajukan Rancangan Undang-undang Perkawinan Umat Islam dengan dukunagn kuat fraksi-fraksi Islam di DPR-GR. Meskipun gagal, upaya ini kemudian dilanjutkan dengan mengajukan rancangan hukum formil yang mengatur lembaga peradilan di Indonesia pada tahun 1970. Upaya ini kemudian membuahkan hasil dengan lahirnya UU No.14/1970, yang mengakui Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan yang berinduk pada Mahkamah Agung. Dengan UU ini, dengan sendirinya –menurut Hazairin- hukum Islam telah berlaku secara langsung sebagai hukum yang berdiri sendiri.[31]
Penegasan terhadap berlakunya hukum Islam semakin jelas ketika UU no. 14 Tahun 1989 tentang peradilan agama ditetapkan.[32] Hal ini kemudian disusul dengan usaha-usaha intensif untuk mengompilasikan hukum Islam di bidang-bidang tertentu. Dan upaya ini membuahkan hasil saat pada bulan Februari 1988, Soeharto sebagai presiden menerima hasil kompilasi itu, dan menginstruksikan penyebarluasannya kepada Menteri Agama.[33]

Hukum Islam di Era Reformasi
Soeharto akhirnya jatuh. Gemuruh demokrasi dan kebebasan bergemuruh di seluruh pelosok Indonesia. Setelah melalui perjalanan yang panjang, di era ini setidaknya hukum Islam mulai menempati posisinya secara perlahan tapi pasti. Lahirnya Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-undang yang berlandaskan hukum Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari suatu daerah di Indonesia, dan bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum.[34]
Lebih dari itu, disamping peluang yang semakin jelas, upaya kongkrit merealisasikan hukum Islam dalam wujud undang-undang dan peraturan telah membuahkan hasil yang nyata di era ini. Salah satu buktinya adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi Nangroe Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor 11 Tahun 2002.
Dengan demikian, di era reformasi ini, terbuka peluang yang luas bagi sistem hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita dapat melakukan langkah-langkah pembaruan, dan bahkan pembentukan hukum baru yang bersumber dan berlandaskan sistem hukum Islam, untuk kemudian dijadikan sebagai norma hukum positif yang berlaku dalam hukum Nasional kita.[35]

Penutup
Era reformasi yang penuh keterbukaan tidak pelak lagi turut diwarnai oleh tuntutan-tuntutan umat Islam yang ingin menegakkan Syariat Islam. Bagi penulis, ide ini tentu patut didukung. Namun sembari memberikan dukungan, perlu pula kiranya upaya-upaya semacam ini dijalankan secara cerdas dan bijaksana. Karena menegakkan yang ma’ruf haruslah juga dengan menggunakan langkah yang ma’ruf. Disamping itu, kesadaran bahwa perjuangan penegakan Syariat Islam sendiri adalah jalan yang panjang dan berliku, sesuai dengan sunnatullah-nya. Karena itu dibutuhkan kesabaran dalam menjalankannya. Sebab tanpa kesabaran yang cukup, upaya penegakan itu hanya akan menjelma menjadi tindakan-tindakan anarkis yang justru tidak sejalan dengan kema’rufan Islam.[36]
Proses “pengakraban” bangsa ini dengan hukum Islam yang selama ini telah dilakukan, harus terus dijalani dengan kesabaran dan kebijaksanaan. Disamping tentu saja upaya-upaya penguatan terhadap kekuatan dan daya tawar politis umat ini. Sebab tidak dapat dipungkiri, dalam sistem demokrasi, daya tawar politis menjadi sangat menentukan sukses-tidaknya suatu tujuan dan cita-cita.
Wallahu a’lam.

DAFTAR PUSTAKA
1. Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional, Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jakarta, Mei 2005.
2. Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Paramadina, Jakarta, Oktober 1998.
3. Jimly Ashshiddiqie, Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional, Seminar Penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam dalam Reformasi Sistem Nasional, Jakarta, 27 September 2000.
4. Chamzawi, Memperjuangkan Berlakunya Syari’ah Islam di Indonesia (Masih Perlukah?), Majalah Amanah, no.56, tahun XVIII, Nopember 2004/Ramadhan-Syawal 1425 H.

[1] Sebagaimana disebutkan dalam Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional, Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jakarta, Mei 2005, hal. 61. Sementara itu Bahtiar Effendy menyebutkan bahwa Islam mulai diperkenalkan di wilayah nusantara pada akhir abad 13 dan awal abad 14 Masehi. Kesimpulan ini sangat mungkin didasarkan pada fakta bahwa kesultanan Islam pertama, Samudra Pasai, berdiri pada kisaran waktu tersebut. Lih. Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Paramadina, Jakarta, Oktober 1998, hal. 21.
[2] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia, op.cit., hal. 61.
[3] Ibid., hal. 61-62.
[4] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia, op.cit., hal. 63-64.
[5] Ibid., hal. 64-66.
[6] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam Konstitusi-konstitusi Indonesia, op.cit., hal. 67-68.
[7] Ibid., hal. 68.
[8] Ibid., hal. 68-70.
[9] Ibid., hal. 70.
[10] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia, op.cit., hal. 72. Sebagaimana terlihat dengan jelas bahwa perubahan ini juga sangat dipengaruhi oleh Teori Receptio Snouck Hurgronje.
[11] Ibid., hal. 76.
[12] Mengenai apakah Masyumi versi ini merupakan asal-usul Partai Masyumi di kemudian hari, lihat Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, op.cit., hal. 93, catatan kaki no.105.
[13] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia, op.cit., hal. 76-79.
[14] Daniel S.Lev, Islamic Courts in Indonesia, hal. 34, sebagaimana dinukil dari Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, op.cit., hal. 83.
[15] Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, op.cit., hal. 84. Mereka antara lain adalah Ki Bagus Hadikusumo, Abdul Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, Abikusno Tjokrosujoso, dan K.H.A.Wahid Hasjim. Jumlah ini didasarkan pada apa yang dituliskan oleh Muhammad Yamin dalam Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, jilid I dan II, Jakarta: Yayasan Prapanca, 1959, hal. 60. Sementara dalam Ramly Hutabarat menyebutkan dalam Kedudukan Hukum Islam, hal. 85, disebutkan jumlah kubu Islam adalah 15 orang. Data ini didasarkan pada pidato Abdul Kahar Muzakkir di Konstituante, dalam Tentang Dasar Negara di Konstituante, jilid III. Bandung: Secretariat Jenderal Konstituante, 1959, hal. 35.
[16] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, op.cit., hal. 85.
[17] Ibid., hal. 89-90. Titik kompromi lain juga terlihat dalam rumusan tentang syarat menjadi Presiden Republik Indonesia yang haruslah “orang Indonesia asli dan beragama Islam.”
[18] Ibid., hal. 92-93.
[19] Risalah Perundingan 1957, tanpa tempat, Konstituante Republik Indonesia, tanpa tahun, hal. 325, sebagaimana dinukil dari Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, op.cit., hal. 91.
[20] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, op.cit., hal. 103.
[21] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, op.cit., hal. 110-111.
[22] Ibid., hal. 112.
[23] Ibid., hal. 113.
[24] Ibid., hal. 115.
[25] Ibid., hal. 131-133.
[26] Karl. D. Jackson, Traditional Authority, Islam, and Rebellion, hal. 10, sebagaimana dikutip dari Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, hal. 96-97.
[27] Ini adalah manifesto politik yang terdiri dari (1) kembali ke UUD 1945; (2) sosialisme Indonesia: (3) demokrasi terpimpin: (4) ekonomi terpimpin; dan (5) kepribadian Indonesia. Lih. Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, op.cit., hal. 110.
[28] Masing-masing diwakili oleh Idham Chalid (NU), D.N. Aidit (PKI), dan Suwirjo (PNI).
[29] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, op.cit., hal. 140-141.
[30] Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, op.cit., hal. 111-112.
[31] Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, op.cit., hal. 149-150, dan 153.
[32] Lihat beberapa alasan diterimanya UU ini dalam Ramli Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, op.cit, hal. 163-164.
[33] Ibid., hal. 156-157. Kompilasi ini terdiri dari tiga buku: (1) tentang Hukum Perkawinan, (2) tentang Hukum Kewarisan; dan (3) tentang Hukum Perwakafan.
[34] Jimly Ashshiddiqie, Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional, makalah Seminar Penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam dalam Reformasi Sistem Nasional, Jakarta, 27 September 2000.
[35] Ibid.
[36] Lih. Chamzawi, Memperjuangkan Berlakunya Syari’ah Islam di Indonesia (Masih Perlukah?), Majalah Amanah, no.56, tahun XVIII, Nopember 2004/Ramadhan-Syawal 1425 H.

Saturday, June 26, 2010

TIPS KOMPUTER JAUH DARI VIRUS

Sudah tidak bisa di tawar lagi, dimana ada computer pasti ada virus computer yang selalu menghantui dan menyebarkan berbagai jenis virus yang terbaru. Kedua sejoli ini tidak bisa dipisahkan walaupun perubahan zaman yang begitu pesatnya. Setiap kali virus sudah di basmi pasti ada virus ter baru yang menghadang dan menghantui para user. Walaupun computer kita menggunakan antivirus yang ter-update setiap harinya pun tidak menjamin computer bebas dari virus, karena virus itu sendiri berkembang dan update, sebagian antivirus cuma mengikuti virus itu sendiri jadi ketika virus sudah menyebar sehingga antivirus dapat mendeteksi baru beberapa hari kemudian. Tetapi computer tanpa antivirus sehingga jauh lebih rentan terjangkit virus.

Maka untuk mengantisipasi terjangkitnya virus ada enam hal yang perlu dilakukan untuk mencegahnya.

1. Gunakan antivirus yang senantiasa di update, paling tidak seminggu sekali, jika online maka aktifkan auto update pada antivrus.
2. Non aktifkan fasilitas autorun pada computer kita, sehingga CD-ROM maupun flash disk yang kita masukkan ke computer kita tidak langsung menjalankan file yang ada di dalamnya. Program autorun dapat di gunakan untuk mendeteksi apakah ada virus atau program yang jalan ketika start windows.
3. Tampilakan semua ekstensi file windows, termasuk file system windows. Caranya : di windows explorer buka menu Tools > Folder Options…kemudian pilih tab View kemudian pilih (aktifkan) opsi “show hidden files and folder”, hilangkan check pada pilihan “Hide extenstions for know file types” juga hilangkan tanda check pada “Hide protected operating system file (Recommended)”.
4. Periksa setiap flash disk yang dimasukkan apakah ada file AUTORUN.INF, jika ada coba lihat isinya, jika mengacu pada sebuah file .exe, .dll atau .scr yang aneh/hidden, segera hapus filenya atau scan dengan antivirus.
5. Jika computer digunakan oleh banyak orang, minta agar pengguna berhati-hati sebelum menjalankan sebuah file, jangan hanya melihat icon-nya, tapi lihat exstensinya. Misalnya file itu dengan icon Ms Word, Excel, Gambar, Mp3 dan sebagainya, tetapi koq berexstensi .exe, .scr, .vbs, .bat atau tidak sesuai dengan iconnya, harap diwaspadai.
6. Gunakan tools/program seperti autoruns untuk melihat file/program apa saja yang berjalan ketika windows diaktifkan. Jika ada program yang aneh segera tanyakan kepada orang lebih tahu. Computer kita aman kita nyaman.

Sunday, June 20, 2010

HAKIKAT PENDIDIKAN


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya serta memberi kekuatan, kesehatan dan kemampuan hingga pembuatan tugas ini dapat kami selesaikan.
Laporan yang singkat dan sederhana ini memaparkan tentang Hakikat Pendidikan di antaranya mengenai Permasalahan Pendidikan serta pembahasan masalahnya.
Materi yang dituliskan dalam laporan ini dimaksudkan untuk mempelajari hakikat pendidikan. Pendidikan dalam arti yang luas, memang peranan sangat strategis dalam setiap masyarakat dan kebudayaan. Suatu masyarakat mempunyai keteraturan yang diikat oleh sistem nilai yang hidup dalam kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu.
Pendidikan, masyarakat, kebudayaan, merupakan suatu tri partit tunggal dimana kebudayaan merupakan dasarnya, masyarakat menyediakan sarana dan proses pendidikan merupakan kegiatan untuk melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai yang mengikat kehidupan bersama dalam masyarakat. Dengan demikian, pendidikan tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan dan masyarakat sebagai pemilik kebudayaan itu.
Kebudayaan nasional Indonesia, yang telah ada atau yang sedang kita bentuk, haruslah menjadi dasar pendidikan nasional kita. Pendidikan nasional hanya dapat hidup dalam realitas kehidupan masyarakat kita yang bhineka. Kebijakan-kebijakan pendidikan nasional kita haruslah bertolak dari premis ini.
Dalam era reformasi. Kita ingin mewujudkan masyarakat madani Indonesia. Tentunya masyarakat tersebut haruslah berakar pada dan hidup dalam kebudayaan Indonesia. Masyarakat Indonesia yang bineka serta sedang dalam tahap belajar untuk hidup berdemokrasi dalam arti yang sebenarnya. Memerlukan proses belajar dengan prioritas nilai-nilai tertentu.
Ilmu merupakan imamnya amal. Sehingga untuk berbuat sesuatu atau mengerjakan sesuatu agar berhasil baik dan tanpa kesulitan, seseorang harus memahami atau menguasai ilmunya terlebih dahulu serta menghantarkan seseorang ke tingkat keimanan yang lebih tinggi dan ketaqwaan yang sepenuhnya kepada sang pencipta.
“Tak ada gading yang tak retak” begitu pula dalam pembuatan tugas ini sangat jauh dari kesempurnaan, sehingga apabila dalam tugas ini ditemukan pernyataan-pernyataan yang keliru dan tidak logis, maka hal tersebut adalah semata-mata karena kekeliruan dan kelemahan kami. Sebaliknya jika pernyataan yang menyangkut konsepsi-konsepsi dasar tersebut adalah benar, itu hanya semata-mata karena pertolongan Allah yang maha kuasa.
Sehubungan dengan pembuatan tugas ini, kami sangat mengharap saran dan kritik yang membangun dari semua pihak, untuk dijadikan landasan dan penyempurnaan tulisan ini.
Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dengan tulus hingga terselesaikannya tugas ini, khususnya kepada Ibu Dra. Sri Widayati, M.Pd.
Akhirnya kami berharap semoga tugas yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Era Reformasi
Masyarakat Indonesia kini sedang berada dalam masa transformasi Era Reformasi telah lahir dalam masyarakat Indonesia ingin mewujudkan perubahan dalam semua aspek kehidupannya. Euforia demokrasi sedang marak dalam masyarakat Indonesia. Di tengah-tengah euforia demokrasi ini lahirlah berbagai jenis pendapat, pandangan, konsep yang tidak jarang yang satu bertentangan dengan yang lain, antara lain berbagai pandangan mengenai bentuk masyarakat dan bangsa Indonesia yang dicita-citakan di masa depan.
Salah satu ciri masyarakat demokrasi ialah lahirnya berbagai jenis pendapat sebagai pernyataan harkat manusia untuk memenuhi hak-hak asasinya untuk berekspresi. Munculnya berbagai jenis pendapat, yang tidak jarang yang satu berseberangan dengan yang lain, menandakan suatu keinginan yang sudah lama terpendam dari manusia dan masyarakat mudah untuk memperoleh kembali hak-hak asasinya yang dijamin di dalam UUD 1945. Dalam sejarah perkembangan masyarakat dan bangsa Indonesia yang telah lebih 54 tahun merdeka itu untuk memperoleh hak asasinya belum sepenuhnya dapat diwujudkan.
Dalam bidang pendidikan nasional juga telah muncul berbagai pendapat dan pandangan mengenai perlunya reformasi pendidikan nasional tuntutan reformasi total dalam kehidupan berbangsa termasuk di dalamnya reformasi pendidikan nasional semakin lama semakin perlu, mengingat proses pendidikan merupakan salah satu tuntutan konstitusi yang mengatakan bahwa tujuan untuk membangun negara yang merdeka ini ialah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional merupakan salah satu tuntutan fundamental yang diamanatkan oleh konstitusi 1945. Tujuan kita membentuk negara ialah untuk melahirkan bangsa Indonesia yang cerdas. Sistem pendidikan nasional dengan demikian sangat erat kaitannya dengan kehidupan politik bangsa. Selama orde Baru telah tercipta suatu kehidupan berbangsa yang tidak sesuai dengan cita-cita UUD 1945. ternyata pemerintahan yang represif telah menghasilkan manusia-manusia Indonesia yang tertekan, yang tidak kritis, yang bertindak dan berpikir dalam acuan suatu struktur kekuasaan. Era reformasi menuntut kembali kedaulatan rakyat yang telah hilang itu. Dengan sendirinya pula pendidikan nasional haruslah dikembalikan fungsinya memberdayakan masyarakat yaitu mengembalikan kedaulatan rakyat. Pendidikan nasional perlu direformasikan untuk mewujudkan visi baru masyarakat Indonesia yaitu suatu masyarakat madani Indonesia.

B. Mengapa Reformasi Pendidikan Nasional Perlu.
Pendidikan Nasional dan cita-cita nasional tidak dapat dipisahkan sesuai dengan amanat konstitusi. Pendidikan nasional cara untuk mencapai cita-cita nasional. Apabila kita ingin mereformasi pendidikan nasional maka perlulah sistem pendidikan nasional itu mempunyai visi yang jelas, yaitu yang sesuai dengan konstitusi ialah mewujudkan suatu masyarakat demokrasi, masyarakat yang menghargai hak-hak asasi manusia dan mengembangkan tanggung jawab anggota masyarakat untuk mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan itu.
Reformasi pendidikan nasional dilaksanakan sesuai dengan visi reformasi yaitu terwujudnya tatanan kehidupan yang sesuai dengan amanat proklamasi kemerdekaan 1945 yaitu untuk mewujudkan masyarakat yang cerdas. Masyarakat yang cerdas ialah suatu masyarakat pancasilais yang memiliki cita-cita dan harapan masa depan, demokratis dan beradab, menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia dan bertanggung jawab, berakhlak mulia, tertib dan sadar hukum, kooperatif dan kompetitif serta memiliki kesadaran dan solidaritas antara generasi dan antara bangsa. Masyarakat yang cerdas adalah masyarakat yang beriman dan bertakwa kepada tuhan yang Maha Esa. maju dan mandiri, serta berwawasan budaya.

BAB II
INTI

2.1 HAKIKAT PENDIDIKAN
A. Berbagai pendekatan.
Hakikat pendidikan itu dapat dikategorisasikan dalam dua pendapat yaitu pendekatan epistemologis dan pendekatan ontologi atau metafisik. Kedua pendekatan tersebut tentunya dapat melahirkan jawaban yang berbeda-beda mengenai apakah hakikat pendidikan itu.
Di dalam pendidikan epistemologis yang menjadi masalah adalah akar atau kerangka ilmu pendidikan sebagai ilmu. Pendekatan tersebut mencari makna pendidikan sebagai ilmu yaitu mempunyai objek yang akan merupakan dasar analisis yang akan membangun ilmu pengetahuan yang disebut ilmu pendidikan. Dari sudut pandang pendidikan dilihat sebagai sesuatu proses yang interen dalam konsep manusia. Artinya manusia hanya dapat dimanusiakan melalui proses pendidikan.
Berbagai pendapat mengenai hakikat pendidikan dapat digolongkan atas dua kelompok besar yaitu :
1. Pendekatan reduksionisme
2. Pendekatan holistik integratif

B. Pendekatan Redaksional
Teori-teori / pendekatan redaksional sangat banyak dikemukakan di dalam khazanah ilmu pendidikan. Dalam hal ini akan dibicarakan berbagai pendekatan reduksionaisme sebagai berikut :
1. Pendekatan pedagogis / pedagogisme
2. Pendekatan Filasofis / religionisme
3. Pendekatan religius / religionisme
4. Pendekatan psikologis / psikologisme
5. Pendekatan negativis / negativisme
6. Pendekatan sosiologis / sosiologismu

1. Pendekatan Pedagogisme
Titik tolak dari teori ini ialah anak yang akan di besarkan menjadi manusia dewasa. Pandangan ini apakah berupa pandangan nativisme schopenhouer serta menganut penganutnya yang beranggapan bahwa anak telah mempunyai kemampuan-kemampuan yang dilahirkan dan tinggal di kembangkan saja.

2. Pendekatan Filosofis.
Anak manusia mempunyai hakikatnya sendiri dan berada dengan hakikat orang dewasa. Oleh sebab itu, proses pendewasaan anak bertitik-tolak dari anak sebagai anak manusia yang mempunyai tingkat-tingkat perkembangan sendiri.

3. Pendekatan Religius
Pendekatan religius / religionisme dianut oleh pemikir-pemikir yang melihat hakikat manusia sebagai makhluk yang religius. Namun demikian kemajuan ilmu pengetahuan yang sekuler tidak menjawab terhadap kehidupan yang bermoral.

4. Pendekatan Psikologis.
Pandangan-pandangan pedagogisme seperti yang telah diuraikan telah lebih memacu masuknya psikologi ke dalam bidang ilmu pendidikan hal tersebut telah mempersempit pandangan para pendidik seakan-akan ilmu pendidikan terbatas kepada ilmu mengajar saja.

5. Pendekatan Negativis.
Pendidikan ialah menjaga pertumbuhan anak. Dengan demikian pandangan negativisme ini melihat bahwa segala sesuatu seakan-akan telah tersedia di dalam diri anak yang bertumbuh dengan baik apabila tidak dipengaruhi oleh hal-hal yang merugikan pertumbuhan tersebut.

6. Pendekatan Sosiologis.
Pandangan sosiologisme cenderung berlawanan arah dengan pedagogisme. Titik-tolak dari pandangan ini ialah prioritas kepada kebutuhan masyarakat dan bukan kepada kebutuhan individu.
Peserta didik adalah anggota masyarakat. Dalam sejarah perkembangan manusia kita lihat bahwa tuntutan masyarakat tidak selalu etis. Versi yang lain dari pandangan ini ialah develop mentalisme. Proses pendidikan diarahkan kepada pencapaian target-target tersebut dan tidak jarang nilai-nilai kemanusiaan disubordinasikan untuk mencapai target pembangunan. Pengalaman pembangunan Indonesia selama Orde Baru telah mengarah kepada paham developmentalisme yang menekan kepada pencapaian pertumbuhan yang tinggi, target pemberantasan buta huruf, target pelaksanaan wajib belajar 9 dan 12 tahun.
Salah satu pandangan sosiologisme yang sangat populer adalah konsiensialisme yang dikumandangkan oleh ahli pikir pendidikan Ferkenal Paulo Freire.
Pendidikan yang dikumandangkan oleh Freire ini yang juga dikenal sebagai pendidikan pembebasan pendidikan adalah proses pembebasan. Konsiensialisme yang dikumandangkan Freire merupakan suatu pandangan pendidikan yang sangat mempunyai kadar politis karena dihubungkan dengan situasi kehidupan politik terutama di negara-negara Amerika Latin. Paulo Freire di dalam pendidikan pembebasan melihat fungsi atau hakikat pendidikan sebagai pembebasan manusia dari berbagai penindasan. Sekolah adalah lembaga sosial yang pada umumnya mempresentasi kekuatan-kekuatan sosial politik yang ada agar menjaga status quo hukum membebaskan manusia dari tirani kekuasaan. Qua atau di dalam istilah Polo Freire. “kapitalisme yang licik”. Sekolah harus berfungsi membangkitkan kesadaran bahwa manusia adalah bebas.

C. Pendekatan Holistik Integratif
Pendekatan-pendekatan reduksionisme melihat proses pendidikan peserta didik dan keseluruhan termasuk lembaga-lembaga pendidikan, menampilkan pandangan ontologis maupun metafisis tertentu mengenai hakikat pendidikan. Teori-teori tersebut satu persatu sifatnya mungkin mendalam secara Vertikal namun tidak melebar secara horizontal.
Peserta didik, anak manusia, tidak hidup secara terisolasi tetapi dia hidup dan berkembang di dalam suatu masyarakat tertentu, yang berbudaya, yang mempunyai visi terhadap kehidupan di masa depan, termasuk kehidupan pasca kehidupan.
Pendekatan reduksionisme terhadap hakikat pendidikan, maka dirumuskan suatu pengertian operasional mengenai hakikat pendidikan. Hakikat pendidikan adalah suatu proses menumbuh kembangkan eksistensi peserta didik yang memasyarakat, membudaya, dalam tata kehidupan yang berdimensi lokal, nasional dan global. Rumusan operasional mengenai hakikat pendidikan tersebut di atas mempunyai komponen-komponen sebagai berikut :
1. Pendidikan merupakan suatu proses berkesinambungan.
Proses berkesinambungan yang terus menerus dalam arti adanya interaksi dalam lingkungannya. Lingkungan tersebut berupa lingkungan manusia, lingkungan sosial, lingkungan budayanya dan ekologinya. Proses pendidikan adalah proses penyelamatan kehidupan sosial dan penyelamatan lingkungan yang memberikan jaminan hidup yang berkesinambungan.
Proses pendidikan yang berkesinambungan berarti bahwa manusia tidak pernah akan selesai.
2. Proses pendidikan berarti menumbuhkembangkan eksistensi manusia.
Eksistensi atau keberadaan manusia adalah suatu keberadaan interaktif. Eksistensi manusia selalu berarti dengan hubungan sesama manusia baik yang dekat maupun dalam ruang lingkup yang semakin luas dengan sesama manusia di dalam planet bumi ini. Proses pendidikan bukan hanya mempunyai dimensi lokal tetapi juga berdimensi nasional dan global.
3. Eksistensi manusia yang memasyarakat.
Proses pendidikan adalah proses mewujudkan eksistensi manusia yang memasyarakat. Jauh Dewey mengatakan bahwa tujuan pendidikan tidak berada di luar proses pendidikan itu tetapi di dalam pendidikan sendiri karena sekolah adalah bagian dari masyarakat itu sendiri. Apabila pendidikan di letakkan di dalam tempatnya yang sebenarnya ialah sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia yang pada dasarnya adalah kehidupan bermoral.
4. Proses pendidikan dalam masyarakat yang membudaya.
Inti dari kehidupan bermasyarakat adalah nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut perlu dihayati, dilestarikan, dikembangkan dan dilaksanakan oleh seluruh anggota masyarakatnya. Penghayatan dan pelaksanaan nilai-nilai yang hidup, keteraturan dan disiplin para anggotanya. Tanpa keteraturan dan disiplin maka suatu kesatuan hidup akan bubar dengan sendirinya dan berarti pula matinya suatu kebudayaan.
5. Proses bermasyarakat dan membudaya mempunyai dimensi-dimensi waktu dan ruang.
Dengan dimensi waktu, proses tersebut mempunyai aspek-aspek historisitas, kekinian dan visi masa depan. Aspek historisitas berarti bahwa suatu masyarakat telah berkembang di dalam proses waktu, yang menyejarah, berarti bahwa kekuatan-kekuatan historis telah menumpuk dan berasimilasi di dalam suatu proses kebudayaan. Proses pendidikan adalah proses pembudayaan. Dan proses pembudayaan adalah proses pendidikan. Menggugurkan pendidikan dari proses pembudayaan merupakan alienasi dari hakikat manusia dan dengan demikian alienasi dari proses humanisasi. Alienasi proses pendidikan dari kebudayaan berarti menjauhkan pendidikan dari perwujudan nilai-nilai moral di dalam kehidupan manusia.

2.2 PERMASALAHAN DALAM PENDIDIKAN
Sejak akhir perang dunia ke dua, pendidikan telah menjadi kegiatan utama di dunia dipandang dari segi keseluruhan pembiayaannya. Di pandang dari segi dana umum. Merupakan yang kedua, di bawah anggaran ketentaraan.
Pendidikan merupakan soal vital bagi tiap segi kemajuan dan perkembangan manusia, dan kedudukan dalam penentuan kebijakan nasional maupun internasional bertumbuh secara lunak.
- Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Perkembangan Pendidikan secara keseluruhan cenderung mendahului perkembangan ekonomi.
- Untuk pertama kalinya dalam sejarah, pendidikan menyiapkan manusia, pria maupun wanita. Untuk memasuki jenis masyarakat yang baru sama sekali.
- Untuk pertama kalinya dalam sejarah, beberapa masyarakat mulai menolak banyak hal tentang “hasil yang telah terselesaikan” dari pendidikan formal.
Mengenai struktur sistem pendidikan, timbul berbagai keinginan dan kecenderungan. Pendidikan taman kanak-kanak yang masih tetap terbatas, umumnya merupakan bagian integral (menyeluruh) dari sistem persekolahan. Pendidikan dasar meluas dalam ruang lingkupnya dan anak-anak ingin mulai sekolah pada umur lebih muda.
Jumlah tahun yang digunakan untuk bersekolah juga meningkat, dan berubah atau perbaikan sering menjurus ke pemaduan ataupun penggandengan antara pendidikan dasar dan tahun-tahun pertama pendidikan menengah. Jumlah murid di sekolah juga makin meningkat, dan tidak hanya pada tingkat rendah, pendaftaran di sekolah-sekolah lebih tinggi sampai pada perguruan tinggi memperlihatkan peningkatan besar.
Namun, karena jumlah pelajar makin meningkat, maka yang putus sekolah (drop-outs) dan yang tinggal kelas juga makin banyak. Pada umumnya, yang paling banyak masuk terjadi pada tingkat terendah dari sistemnya dan yang paling banyak keluar adalah di tengah jalan (terutama karena gagal) atau di puncak, setelah menyelesaikan pelajaran dengan baik. Masuk dan keluar atau pindah di tengah-tengah pendidikan memang kurang, tetapi kini mulai banyak terjadi.
Di negara-negara lain, kecenderungan bergerak ke arah ke daerahkan, melonggarkan penguasaan pusat dan kemungkinan keanekaragaman yang lebih besar. Namun masih merupakan faktor bahwa banyak perkembangan memperlihatkan suatu konsistensi (ketetapan) yang memang aneh, karena berbagai keadaan atau situasi itu telah timbul secara perlahan di bawah teori, tantangan dan gerakan protes yang berbeda-beda.
1) Pembaharuan (reformasi) pendidikan
Kecenderungan pertama ini bergerak ke arah perubahan atau penyusunan kembali (reorganisasi) struktur pendidikan yang ada dan memodernkan metode pengajaran. Dengan atau tanpa pengikut, perubahan struktur semacam itu, pada waktunya akan terjadi hampir dimana saja. Perubahan penting juga telah terjadi di negara-negara sedang berkembang, kebanyakan di selenggarakan oleh pemerintah pusat, meskipun kekurangan peralatan dan sistem birokrasi yang kurang sehat kadang kala sangat menghambat pembaharuan itu. Karena yang diserahi tugas itu sering ingin menunggu dahulu sampai hasil-hasil Perolehan di lain negara dapat dipelajari.
2) Perubahan (transformasi) struktur
Di negara-negara yang telah menjalin peningkatan sosial dan politik pada tahun-tahun terakhir ini, kejadian-kejadian telah sering mengakibatkan perubahan struktur yang cukup besar dalam dunia pendidikan, yang mempengaruhi penerimaan mahasiswa, kemudahan memperoleh pendidikan pada berbagai tingkat, perubahan kurikulum meskipun belum sangat mendalam juga mempengaruhi modernisasi metode pengajaran.
3) Kritik Radikal
Kecenderungan ketiga diutarakan oleh mereka yang menyetujui adanya pendidikan “tak terlembagakan” dan masyarakat tanpa sekolah formal.
Kritik secara jujur atau penolakan pendidikan yang “dilembagakan” mungkin menjurus ke perumusan jalan tengah, tetapi juga dapat ke arah rencana radikal tentang masyarakat “tanpa sekolah formal” sama sekali. Teori ekstrem itu didasari gagasan bahwa pendidikan adalah variabel tak terikat dalam tiap masyarakat, dan merupakan sebab langsung dari pertentangan sosial.
4) Ketidak puasan.
Kecenderungan keempat di sebabkan karena ketakpuasan pada yang berkenaan sendiri. Dan ini telah banyak berkembang di negara-negara tertentu yang pendidikannya menyangkut para ahli politik, ahli pendidikan, ahli penelitian dan para ilmuwan, maupun para siswa sendiri dan pula khalayak umum.
Mereka menjadi kecewa, merasa tertekan, membuang-buang tenaga, menjadi bosan atau menemukan jalan keluar bagi harapan dan cita-citanya. Keresahan mahasiswa sering merupakan tanda dalam sejarah, bila kritik secara luas mulai merongrong benteng pendidikan yang hingga waktu itu tak dapat ditembus. Meskipun demikian perhatian terhadap pendidikan belum pernah sebesar sekarang. Hai ini menjadi sebab pertikaian yang memuncak menjadi pertikaian politik atau ideologi. Dalam kenyataannya, hal-hal itu telah menjadi salah satu tema utama dari pada kritik sosial mengenai pengalaman dan ideologi.
Mengingat keadaan-keadaan negara dewasa ini, kita dapat dan harus menyelami arti sebenarnya pendidikan dalam dunia modern ini, tidak hanya dengan menetapkan kembali kewajiban dan tanggung jawabnya kepada generasi sekarang yang harus disiapkan untuk dunia di kemudian hari, melainkan juga menganalisa atau menelaah tenaga dan mitos yang mendasarinya, kemungkinan hari depannya dan tujuan serta sasaran utamanya.

2.3 PEMBAHASAN MASALAH
Pendidikan seumur hidup seharusnya merupakan kunci dari semua kebijaksanaan pendidikan di tahun-tahun mendatang, baik di negara yang industrinya telah berkembang maupun di negara yang sedang berkembang.
Konsep pendidikan seumur hidup dapat diterapkan dengan berbagai jalan, sebanyak adanya negara di dunia ini. Misalnya : memerlukan penyusunan kembali seluruh pendidikan. Di dalam maupun di luar sekolah dengan di dasari prinsip pendidikan seumur hidup.
- Pendidikan harus diberikan dengan berbagai cara. Yang penting bukan bagaimana seseorang telah dididik, tetapi pengetahuan apa yang dengan nyata telah di peroleh.
Tiap orang seharusnya memiliki kebebasan lebih besar dalam memilih apa yang akan dipelajari, dan penyelangan pelajaran jangan sampai menghalangi seseorang untuk kemudian meneruskan lagi.
- Pendidikan bagi kanak-kanak usia prasekolah harus menjadi tujuan penting bagi strategi pendidikan di hari mendatang. Pendidikan kanak-kanak usia prasekolah (mulai dari umur 2 atau 3 tahun) perlu diorganisasi berdasar pada pola bebas, luwes dan dapat menemukan cara-cara terbaik agar keluarga dan masyarakat setempat bersedia kerja sama dan bersama-sama memberikan biayanya.
- Berjuta kanak-kanak dan anak muda masih belum memperoleh pendidikan. Pendidikan dasar secara umum yang diselenggarakan menurut keperluan dan dana nasional, seharusnya merupakan tujuan kebijaksanaan yang diprioritaskan di hari mendatang.
Usaha menyeluruh untuk membuat pendidikan dasar tersedia bagi semua anak, merupakan proyek jangka panjang. Tetapi pengetahuan secara luwes yang memungkinkan penggunaan ruang sekolah dasar secara lebih intensif dan lebih luas, dapat sangat bermanfaat guna mengatasi akibat jelek dari “kelaparan” pendidikan yang sekarang.
- Pendidikan seharusnya bertujuan tidak hanya untuk melatih anak muda dalam pekerjaan kelas, tetapi juga untuk melengkapinya agar dapat menyesuaikan diri dalam berbagai pekerjaan.
Walaupun peranan utama pendidikan adalah memberikan latihan dalam suatu kejujuran, namun sistem pendidikan jenis tradisional tidak mampu memberikan latihan yang tepat dapat mengikuti persyaratan kerja yang terus berubah dalam industri modern.
- Kewajiban latihan teknis seharusnya tidak khususnya jatuh pada sistem sekolah. Itu sebaiknya dilakukan bersama oleh sekolah, perusahaan ekonomi, industri, dan pendidikan luar sekolah.
- Guna memenuhi kewajiban dan harus tumbuh dalam latihan teknis, pendidikan memerlukan bantuan dari lembaga-lembaga lain. Dan ini membutuhkan kerja sama secara aktif antara pendidik, pemimpin perusahaan dan industri, pekerja dan pemerintah.
- Pendidikan tinggi perlu diperluas dan dibuat cukup bervariasi untuk memenuhi keperluan perorangan dan masyarakat. Sikap tradisional terhadap universitas harus berubah.
- Pemerintah umum terhadap jenis-jenis baru lembaga pendidikan tinggi akan membantu dalam menghilangkan tekanan yang terlalu banyak di bebankan pada universitas jenis tradisional.
- Kemungkinan masuk ke berbagai jenis pendidikan dan pekerjaan seharusnya hanya tergantung dari pengetahuan, kemampuan dan kecakapan seseorang.
- Penilaian wajar dan baik dari kemajuan yang dicapai murid atau mahasiswa seharusnya berdasar pada penelaahan pekerjaannya selam jangka waktu tertentu dan bukan hanya pada hasil ujiannya.
- Pengembangan pendidikan orang dewasa, di dalam dan di luar sekolah, seharusnya merupakan tujuan yang mendapat prioritas dalam strategi pendidikan di waktu sepuluh tahun mendatang.
Pendidikan orang dewasa dapat langsung mempengaruhi kemajuan anak-anak di sekolah karena pendidikan dasar dan tingkat pendidikan orang tua tidak dapat dipisah-pisahkan. Anak-anak tidak dapat dididik secara baik dan lancar dalam lingkungan buta huruf.
Semua usaha pemberantasan buta huruf harus diselenggarakan ke arah tujuan negara dalam perkembangan sosial dan ekonomi. Pemberantasan buta huruf seharusnya mempunyai dua tujuan dasar :
- Pertama, melek huruf fungsional di antara kalangan pekerja di mana dorongan untuk melek huruf adalah yang terbesar.

- Kedua, melek huruf secara massal di mana keadaan sosial untuk perkembangan-politik, ekonomi, dan budaya-memungkinkan masyarakat dapat ikut serta.
- Bahwa terdapat pendidikan diri sendiri yang meliputi laboratorium bahasa, perpustakaan, bank data, dan peralatan audio-visual, sebagainya dipersatukan ke dalam semua sistem pendidikan.
Berbagai jalan baru telah di ambil dalam pendidikan dan perluasan fasilitas pendidikan telah membantu meningkatkan dasar dan praktek belajar sendiri. Bagi setiap orang seharusnya disediakan sarana, peralatan dan insentif guna membuat belajar sendiri menjadi suatu kegiatan yang produktif dan menguntungkan.
- Sistem pendidikan seharusnya di gambarkan dan direncanakan dalam rangka kemungkinan-kemungkinan yang di berikan oleh teknik pendidikan baru.
Hingga kini sistem sekolah biasanya tak mampu menggunakan kemungkinan-kemungkinan baru yang di berikan oleh kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan secara teratur dan sistematis.
- Program pendidikan guru seharusnya memanfaatkan sepenuhnya metode dan alat bantu mutakhir.
Sumber-sumber baru yang diberikan teknologi pendidikan sebaiknya di perkenalkan dan dimasukkan secara sistematis dalam lembaga pendidikan guru.

2.4 Hang Out
Secara devinisi, sebenarnya tidak ada pendidikan untuk masyarakat madani Indonesia. Oleh karena pendidikan merupakan bagian yang integral dan kegiatan dari masyarakat dan kebudayaannya, maka yang lebih tepat adalah pendidikan dalam masyarakat madani Indonesia.
Pendidikan dalam masyarakat madani Indonesia tidak lain ialah proses pendidikan yang mengakui akan hak-hak serta kewajiban perorangan di dalam masyarakat. Dalam suatu masyarakat yang demokratis, hak-hak dan kewajiban tersebut merupakan batu landasan dari masyarakat.
Proses pendidikan yang berakar dari kebudayaan, berbeda dengan praktis pendidikan yang terjadi dewasa ini yang cenderung mengalienasikan proses pendidikan dari kebudayaan. Kita memerlukan suatu perubahan paradigma dari pendidikan nasional untuk menghadapi proses globalisasi dan menata kembali kehidupan masyarakat Indonesia. Cita-cita era reformasi tidak lain ialah membangun suatu masyarakat madani Indonesia. Oleh sebab itu paradigma baru pendidikan nasional diarahkan kepada terbentuknya masyarakat madani Indonesia tersebut.
Pendidikan kita dewasa ini belum menunjang jiwa reformasi yaitu yang menginginkan masyarakat demokratis, masyarakat terbuka, pemerintahan yang bersih, masyarakat transparan, dan bukan karena kolusi ataupun untuk kepentingan kelompok sendiri.
Pendidikan nasional kita dewasa ini yang telah terpisah dari kebudayaan, baik kebudayaan daerah maupun kebudayaan nasional. Dengan demikian pergeseran paradigma masyarakat Indonesia dalam memasuki kehidupan baru milenium ketiga, antara lain memerlukan strategi reformasi pendidikan nasional sebagai berikut :
1. Pranata sosial pendidikan keluarga. Sekolah haruslah dijadikan pusat pengembangan kebudayaan daerah dan nasional. Untuk mencapai tujuan tersebut antara lain perlunya kebijakan pengambangan bahasa daerah di lembaga-lembaga pendidikan dasar, menengah dan tinggi.
2. Visi pendidikan nasional berakar dari kebudayaan nasional, perlu dijabarkan secara rinci dalam semua program pendidikan.
3. Prinsip-prinsip kehidupan nasional yang berdasarkan pancasila perlu dilaksanakan di dalam kehidupan nyata dalam seluruh lembaga pendidikan.
4. Menghidupkan dan mengembangkan tata cara hidup demokrasi. Proses belajar dikembangkan dalam suasana demokrasi, artinya pendidikan bukan menggunakan “Sistem Bank” tetapi yang menghidupkan berpikir mandiri dan kritis, dapat berdialog dan menerima pendapat orang lain berbeda.
5. Desentralisasi dan Sentralisa pengelolaan pendidikan yang seimbang. Oleh karena itu pendidikan nasional harus mempunyai visi untuk dapat memberdayakan rakyat banyak sehingga rentan terhadap perubahan-perubahan global yang menimpanya.

BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
- Era reformasi adalah era untuk terciptanya suatu masyarakat terbuka dan percaya kepada partisipasi masyarakat di dalam pengembangan dirinya sendiri.
- Syarat-syarat untuk meningkatkan akuntabilitas pendidikan tinggi kita ialah semakin bosannya partisipasi masyarakat di dalam membangun pendidikan tingginya.
- Pendekatan mengenai hakikat pendidikan dapat digolongkan atas dua kelompok besar, yaitu :
1. Pendekatan reduksionisme
2. Pendekatan holistis integratif
- Hakikat pendidikan adalah suatu proses menumbuhkembangkan eksistensi peserta didik yang memasyarakat, membudaya dalam tata kehidupan yang berdimensi lokal, nasional dan global.

3.2 SARAN

Ilmu merupakan imamnya amal, sehingga untuk berbuat sesuatu agar berhasil lebih baik dan tanpa kesulitan, seseorang harus memahami atau menguasai ilmunya, terlebih dahulu serta menghantarkan seseorang ke tingkat keimanan yang lebih tinggi dan ketakwaan yang sepenuhnya kepada sang pencipta.
Sehubungan dengan perbuatan tugas ini, kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak, untuk dijadikan landasan dalam penyempurnaan tugas ini.

DAFTAR PUSTAKA

• Fernandez perez, Miguel . 1982 . Krisis Dalam Pendidikan . Jakarta : PN Balai Pustaka.
• Prof . Dr. Tilaar , H.A.R.M.Sc.Ed. 2002 . Pendidikan dan Masyarakat madani Indonesia . Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Wednesday, June 16, 2010

KEBIJAKAN PENYELENGGARAAN PERTAHANAN NEGARA

1. Latar Belakang
Globalisasi yang berproses dalam berbagai aspek, pada satu sisi telah mengakibatkan kompetisi antar negara yang sangat ketat, pada sisi lain globalisasi juga mendorong berlangsungnya pertautan kepentingan serta saling ketergantungan antar bangsa. Pada bidang pertahanan, globalisasi berimplikasi terhadap muncuinya bentuk-bentuk ancaman baru balk yang bersifat fisik (militer) maupun non fisik (nirmiliter), sehingga karakteristik ancaman pertahanan negara menjadi semakin kompleks dan bersifat multidimensi.
Kondisi tersebut mengakibatkan pertahanan negara menghadapi tantangan dan spektrum ancaman yang kompleks dan makin sulit diprediksi, selain karena ancaman militer masih tetap harus diperhitungkan, juga karena mengemukanya ancaman nirmiliter yang sangat membahayakan eksistensi bangsa dan negara. Konsekuensi logis dari tantangan dan ancaman pertahanan negara yang demikian, maka penyelenggaraan pertahanan tidak hanya merupakan tanggung jawab Departemen Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia (TNI), melainkan seluruh rakyat Indonesia balk instansi pemerintahan maupun lembaga non-pemerintah dan masyarakat.
Untuk maksud tersebut, dalam rangka menjabarkan Kebijakan Umum Pertahanan Negara yang telah ditetapkan Presiden, sekaligus memayungi semua produk strategis pertahanan negara, perlu disusun naskah tersendiri tentang kebijakan penyelenggaraan pertahanan negara.

2. Landasan Kebijakan Penyelenggaraan Pertahanan Negara
Penyelenggaraan pertahanan negara merupakan amanat Undang-Undang Dasar 1945, yang dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Presiden selaku pelaksana undang-undang telah menetapkan Kebijakan Umum Pertahanan Negara sebagai dasar bagi penetapan Kebijakan Penyelenggaraan Pertahanan Negara.
Undang-Undang Dasar 1945. Tujuan untuk membentuk pemerintah negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Untuk mencapai tujuan tersebut diatas, maka pemerintah menyelenggarakan fungsi pertahanan negara yang dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan semesta.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Pertahanan negara bertujuan untuk menjaga dan melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI, dan keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman. Pelaksanaannya melalui sistem pertahanan yang bersifat semesta yang dijabarkan ke dalam pertahanan militer dan pertahanan nirmiliter. Pertahanan militer merupakan sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman militer, yang menempatkan TNI sebagai Komponen Utama dan melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya sebagai Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung. Pertahanan nirmiliter merupakan sistem pertahanan negara dalam menghadapi ancaman nirmiliter yang menempatkan Iembaga pemerintah di luar bidang pertahanan sebagai unsur utama dibantu unsur lain dari komponen bangsa.
Kebijakan Umum Pertahanan Negara. Kebijakan Umum Pertahanan Negara yang ditetapkan Presiden melalui Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2008 menjadi dasar bagi Kebijakan Penyelenggaraan Pertahanan Negara yang ditetapkan oleh Menteri Pertahanan. Dalam kerangka itu, kebijakan umum pertahanan negara memberi arah bagi perencanaan, penyelenggaraan dan pengawasan sistem pertahanan negara. Pokok-pokok kebijakan Presiden tentang pertahanan negara sebagaimana tercantum dalam kebijakan umum dimaksud meliputi pertahanan integratif, pembangunan kekuatan, pengerahan dan penggunaan kekuatan pertahanan, penganggaran, kerja sama pertahanan, pengelolaan sumber daya nasional, pengembangan postur pertahanan dan pengawasan.

TANTANGAN DAN ANCAMAN PERTAHANAN NEGARA

3. Lingkungan Eksternal.
Perkembangan Kekuatan Militer Global dan Karakteristik Ancaman. Berakhirnya era perang dingin sesungguhnya membangkitkan harapan untuk terciptanya tatanan dunia Iebih stabil. Namun pada kenyataannya terbentuknya tatanan internasional yang multipolar terutama pada dimensi politik, ekonomi dan
militer justru mendorong situasi global yang penuh ketidakpastian dan mempengaruhi tantangan menjadi sangat kompleks.
Pada bidang pertahanan, kompleksitas perkembangan global tersebut berimplikasi terhadap kondisi yang asimetri dengan karakteristik ancaman yang multidimensional di mana ancaman militer dan ancaman nirmiliter terjadi secara bersamaan dan sating mempengaruhi. Setiap negara masih mempertahankan kekuatan militernya, bahkan modernisasi mesin-mesin perang terus dikembangkan oleh negara-negara maju yang menghasilkan kemajuan pesat pada revolusi di bidang militer (Revolution in Military Affairs-RMA). Perkembangan tersebut sekaligus mengubah karakteristik perang di masa mendatang menjadi ajang yang mempertontonkan keunggulan teknologi, informasi, akurasi data, dominasi manuver presisi dan sasaran terpilih, serta penguasaan ruang angkasa melalui pemanfaatan satelit.
Kenyataan tersebut mendasari persepsi pertahanan negara terhadap ancaman bahwa ancaman militer masih tetap diperhitungkan, sehingga menuntut kesiapsiagaan pertahanan negara melalui pembangunan kekuatan dalam standar penangkalan yang rasional. Seiring dengan perkembangan ancaman militer yang masih potensial, ancaman yang bersifat nirmiliter juga semakin mengemuka. Peningkatan interaksi dan interdependensi antar bangsa berimplikasi pula terhadap dinamika faktor-faktor nirmiliter. Dalam kondisi tertentu faktor-faktor nirmiliter yang tidak terkelola secara baik dapat berkembang menjadi ancaman terhadap kelangsungan hidup negara.
Isu Terorisme dan Pola Penanganannya. Sejak 11 September 2001, terorisme menjadi ancaman global yang mengancam keselamatan umat manusia serta kewibawaan pemerintah. Jaringan terorisme yang bersifat lintas negara mendorong negara-negara untuk bekerja sama secara lintas kawasan termasuk kerja sama intelijen dan penggunaan kekuatan militer.
Di satu sisi penanganan terorisme melalui pendekatan militer dapat menjadi faktor deterrence yang memberi perlindungan bagi masyarakat, tetapi di sisi lain dapat menjadi pembenaran bagi penggunaan kekuatan multinasional untuk menyerang suatu negara dengan dalih sebagai sarang teroris. Perkembangan dalam penanganan terorisme juga semakin diperluas, tidak saja berupa penggunaan kekuatan multinasional untuk melakukan preemptive strike tetapi juga melibatkan faktor-faktor nirmiliter seperti embargo ekonomi dan tekanan politik sehingga berpeluang mengancam kedaulatan suatu negara. Belum tertangkapnya sejumlah aktor teroris di berbagai negara menyebabkan ketidakpastian dan rentannya situasi keamanan global, regional dan nasional.
Konflik antar negara dan isu-isu Perbatasan. Beberapa kawasan masih dilanda konflik balk konflik antar negara seperti yang terjadi di Afrika, Semenanjung Korea, Israel dan Palestina, Israel dan Lebanon, maupun konflik internal seperti yang terjadi di Timor Leste, Myanmar dan sejumlah negara di Afrika. Selain itu kondisi keamanan di Irak dan Afghanistan serta situasi di Iran masih merupakan permasalahan yang cukup mempengaruhi keamanan regional. Kondisi keamanan global seperti digambarkan diatas, tidak saja menghasilkan limbah konflik (spill over) yang mempengaruhi kondisi keamanan di Indonesia, tetapi juga berimplikasi terhadap tingginya frekwensi pelibatan pasukan TNI pada misi perdamaian dunia.
Menyangkut isu perbatasan, dari perbatasan Indonesia dengan India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Philipina, Palau, Papua Nugini, Timor Leste dan Australia, maka perbatasan dengan Malaysia di wilayah Ambalat dan 10 titik perbatasan darat di pulau Kalimantan, serta perbatasan dengan Timor Leste dan Papua Nugini menjadi fokus dalam penyelenggaraan pertahanan negara.
Isu-isu perbatasan yang perlu mendapat perhatian adalah aktivitas pelintas batas yang illegal, penyelundupan, pembalakan hutan secara liar dan penggeseran batas wilayah yang dimanfaatkan untuk pencurian kekayaan alam Indonesia. Akibat kegiatan-kegiatan tersebut Indonesia mengalami kerugian Iebih dari 20 triliun rupiah setiap tahun, belum lagi kerugian immateri yang tidak ternilai harganya.
Pelanggaran Wilayah. Posisi geografi Indonesia yang berada di pelintasan internasional, serta wilayah yang sangat luas, dengan garis pantai yang panjangnya mencapai sekitar 81.000 kilometer mengakibatkan wilayah Indonesia menjadi sangat terbuka dan dapat dimasuki dari segala penjuru. Kondisi geografi Indonesia yang demikian berimplikasi terhadap kemungkinan terjadinya pelanggaran wilayah oleh negara lain. Di samping itu keterbatasan dalam ketersediaan Alat Utama Sistem Senjata (Alutsista) dari segi jumlah dan kualitas berakibat terhadap rendahnya kemampuan pertahanan negara dalam melindungi kedaulatan negara dan kepentingan nasional secara proporsional.
lsu-isu Keamanan Yang Berdimensi Nirmiliter. Globalisasi selain membawa banyak manfaat, juga menghadirkan tantangan di berbagai bidang termasuk pertahanan pada aspek-aspek nirmiliter. Pengelolaan yang tidak tepat terhadap aspek-aspek nirmiliter terutama yang berdimensi politik, ekonomi, keuangan dan moneter, sosial budaya, teknologi-informasi dan sumberdaya alam dapat berkembang menjadi ancaman terhadap eksistensi suatu negara dan dalam skala tertentu dapat menjadi isu pertahanan yang mengancam eksistensi negara dan kepentingan nasional. Krisis ekonomi dan moneter yang terjadi pada tahun 1998 memberi pelajaran bahwa isu keamanan berdimensi nirmiliter seringkali
lebih berbahaya dari ancaman militer karena ancaman nirmiliter lebih sulit untuk dideteksi dan eskalasinya jauh lebih cepat dari ancaman militer.
Penegakan demokrasi dan hak azasi manusia (HAM) masih memerlukan penanganan yang sungguh-sungguh. Demokrasi dan HAM menjadi kebutuhan mendasar bagi masyarakat yang menjadi kewajiban pemerintah untuk menegakkannya. Pembangunan demokrasi dan penegakan HAM oleh negara¬negara berkembang sesungguhnya telah mengalami kemajuan yang signifikan. Khusus di Indonesia, pembangunan demokrasi dan penegakan HAM menjadi komitmen pemerintah dan dilaksanakan secara sungguh-sungguh dan dalam beberapa tahun terakhir mengalami banyak kemajuan. Bagi Indonesia, nilai-nilai demokrasi dan penegakan HAM sesungguhnya bukan hal yang asing, tetapi merupakan nilai-nilai sosial budaya bangsa Indonesia yang sudah lama terpelihara dalam kehidupan sehari-hari. Dalam lingkup penyelenggaraan fungsi pertahanan, pembangunan demokrasi dan penegakan HAM bahkan telah diselenggarakan mulai dari organisasi induk hingga kesatuan yang terkecil, bahkan menjadi kewajiban setiap prajurit untuk melaksanakannya. Namun seringkali penilaian negara-negara maju seringkali tidak sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya atau tidak didasarkan pada data yang akurat. Kondisi internal yang sangat heterogen seringkali menjadi sumber permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia seperti halnya oleh negara-negara berkembang pada umumnya dan pada skala tertentu dapat mempengaruhi demokrasi dan HAM. Hal ini yang kurang dipahami oleh masyarakat internasional, dan dalam melakukan penilaian sering kali merugikan kepentingan nasional termasuk kepentingan pertahanan negara. Perbedaan cara pandang dalam konteks demokratisasi dan HAM termasuk dalam melihat tantangan dan permasalahan internal negara berkembang sering kali menjadi sumber konflik antara negara maju dan negara berkembang.
Salah satu isu yang mendunia pada abad 21 adalah tentang lingkungan hidup. Ekspansi dan pengembangan industri di negara-negara maju berakibat terhadap peningkatan kebutuhan bahan baku. Kondisi tersebut mendorong eksploitasi terhadap sumber daya alam di negara-negara berkembang semakin tidak terkendali, dan lambat laun menyebabkan kerusakan lingkungan hidup yang semakin parah. Pada sisi lain laju pertumbuhan penduduk yang terus meningkat berimplikasi terhadap peningkatan kebutuhan akan ruang hidup baik untuk tempat tinggal, infrastruktur, maupun untuk fasilitas umum dan fasilitas sosial. Kondisi paradoksal tersebut mengakibatkan laju pembangunan sering kali mengabaikan aspek kelestarian lingkungan hidup dan dalam skala tertentu menimbulkan malapetaka bagi umat manusia. Kerusakan lingkungan hidup yang semakin parah khususnya di negara-negara berkembang membuka ruang bagi intervensi negara
negara maju atau kekuatan asing untuk melakukan tindakan politik bahkan intervensi militer terhadap suatu negara.
Globalisasi ekonomi telah menyebabkan persaingan antar negara yang sangat ketat sehingga ada yang menjadi pemenang (the winner) dan ada pihak yang kalah (the loser). Globalisasi ekonomi juga mendorong pasar besar yang mengancam eksistensi perekonomian di negara-negara berkembang. Pada umumnya pihak yang kalah adalah negara-negara berkembang yang hanya mengandalkan sumber daya alam, tetapi tidak memiliki kemampuan dalam teknologi, sumber daya manusia, modal, serta aliansi. Kondisi yang tidak seimbang tersebut apabila tidak dapat dikelola dapat menjadi potensi ancaman pertahanan.
Pemanasan global yang melanda seluruh dunia dengan meningkatnya suhu di bumi secara ekstrim telah menyebabkan perubahan iklim secara anomali. Akibat pemanasan global tersebut di sejumlah tempat terjadi curah hujan secara berlebihan sehingga menyebabkan bahaya banjir yang melanda wilayah yang luas, sementara di tempat lain dilanda kekeringan yang panjang. Pemanasan global tersebut telah berdampak terhadap kelangkaan energi dan pangan yang melanda sejumlah negara dan lambat laun mengancam stabilitas negara baik secara ekonomi maupun keamanan. Krisis energi khususnya bahan bakar minyak (BBM) dan gas dalam tahun-tahun mendatang diperkirakan akan semakin serius. Fungsi pertahanan negara merupakan sektor yang paling banyak terkena dampaknya, antara lain karena karakteristik Alutsista TNI pada umumnya "boros" BBM. Pada sisi lain, dampak pemanasan global juga menimbulkan kondisi anomali di Indonesia. Terdapat sejumlah wilayah yang dilanda banjir sehingga menyebabkan rusaknya infrastruktur dan properti dalam jumlah besar yang mengakibatkan gelombang pengungsian, kegagalan panen, serta timbulnya wabah penyakit. Pada saat yang bersamaan, sejumlah wilayah yang lain dilanda kekeringan panjang yang menyebabkan kacaunya musim tanam, kelangkaan air, dan kebakaran hutan.

4. Lingkungan Internal.
Selain Iingkungan eksternal, penyelenggaraan pertahanan negara juga dipengaruhi oleh dinamika kondisi dalam negeri. Kondisi dalam negeri yang tidak terkelola dengan baik sering kali berkembang menjadi ancaman, antara lain karena faktor ketidak-adilan, keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan dan keterpinggiran. Masyarakat Indonesia sebagian besar masih menghadapi persoalan ekonomi dan ketidak-adilan sehingga larnbat laun berkembang menjadi permasalahan keamanan yang kompleks dan mempengaruhi pertahanan negara.
Isu-isu dalam negeri yang menonjol dan berimplikasi terhadap pertahanan negara antara lain separatisme, pengelolaan pulau-pulau kecil terluar, konflik komunal, dan bencana alam. Secara umum kondisi internal masih mengisyaratkan
adanya tantangan yang kompleks bagi penyelenggaraan pertahanan negara, bahkan beberapa diantaranya menjadi ancaman pertahanan seperti gerakan separatisme dan terorisme.
Separatisme merupakan ancaman utama terhadap keutuhan NKRI. Indonesia pada dasarnya memiliki potensi berkembangnya separatisme, sebagai akibat dari efek pembangunan nasional serta watak kekerasan yang melekat dan berurat berakar di dalam masyarakat. Ancaman separatisme di Indonesia tidak selalu berbentuk gerakan bersenjata, tetapi dapat berupa gerakan politik. Gerakan separatisme pada dasarnya bersumber dari ketidaknyamanan masyarakat untuk berada di dalam naungan NKRI sebagai akibat dari hak-hak politik, ekonomi dan keadilan masyarakat yang tidak terdistribusikan secara baik.
Kondisi di Aceh Darussalam secara bermartabat telah dapat tertangani melalui pendekatan damai dalam wadah NKRI, namun kondisi yang sudah membaik tersebut masih perlu dikawal secara bersama oleh seluruh bangsa Indonesia. Di Papua, Maluku dan Maluku Utara masih terdapat anasir-anasir separatisme yang ingin memisahkan diri dari NKRI yang menempuh upaya politik dengan mencari dukungan internasional maupun gerakan bersenjata.
Hal yang tidak kalah pentingnya adalah penanganan pulau-pulau kecil terluar. Indonesia memiliki 92 pulau kecil terluar, dua belas diantaranya berada dalam kondisi kritis, antara lain karena ada yang tidak berpenghuni, atau karena rendahnya aktivitas sosio-ekonomi masyarakat di pulau-pulau tersebut. Kedekatan geografi dengan negara tetangga antara lain karena berada pada wilayah perbatasan, serta belum optimalnya pengawasan oleh pemerintah sering kali dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk menggunakan pulau¬pulau kecil terluar sebagai basis untuk melakukan kegiatan illegal. Pada dasarnya Departemen Pertahanan dan TNI telah menggelar kekuatan TNI untuk melakukan pengawasan dan pengamanan terhadap pulau-pulau kecil terluar. Namun demikian posisi pulau-pulau kecil terluar yang sangat terpencil dan jauh dari pusat pertumbuhan serta minimnya faktor-faktor yang menunjang kehidupan di pulau-pulau tersebut berdampak terhadap kualitas penjagaan dan pengawasan.
Tantangan lain yang dihadapi adalah konflik komunal. Pada dasarnya penanganan konflik komunal bukan merupakan fungsi langsung pertahanan. Namun dalam kondisi tertentu konflik komunal dapat bereskalasi sehingga mengancam roda pemerintahan, dan pembangunan nasional atau bahkan dapat mengancam keselamatan bangsa. Pada gradasi tersebut di mana instrumen fungsional pemerintah sudah tidak efektif lagi, maka berdasarkan keputusan politik pemerintah instrumen pertahanan negara dapat digunakan pemerintah secara terukur serta berdasarkan pertimbangan yang selektif. Kondisi sosial masyarakat Indonesia yang sangat heterogen dalam
budaya, agama, adat istiadat dan dialek, apabila tidak dikelola secara baik dapat berpotensi terjadinya disharmoni dan dalam gradasi tertentu dapat berkembang menjadi konflik komunal yang berdimensi SARA (suku, agama, ras, adat-istiadat dan antar golongan).
Bencana alam termasuk salah satu tantangan yang cukup serius pada dekade terakhir. Posisi Indonesia yang berada pada ring of fire, serta pada pertemuan beberapa lempengan bumi berakibat hampir sefuruh wilayah Indonesia memiliki potensi bencana alam seperti gelombang pasang dan tsunami, gempa tektonik, erupsi gunung api, banjir. Posisi Indonesia pada garis khatulistiwa menyebabkan adanya sejumlah titik api yang menjadi sumber terjadinya kebakaran hutan. Tantangan tersebut semakin kompleks karena instrumen nasional yang sewaktu-waktu dapat digerakkan sangat terbatas sehingga kemungkinan penggunaan TNI cukup tinggi, sementara kemampuan TNI pada Alutsista sangat terbatas yang berdampak pada faktor kesiapannya.


5. Kondisi Pertahanan Negara Saat Ini
Pembangunan pertahanan sampai saat ini belum dapat mewujudkan sosok pertahanan yang kuat dan disegani di dunia, bahkan dalam lingkup regional sekalipun pertahanan Indonesia bukan yang terkuat. Dad alokasi APBN dalam beberapa dekade terakhir sampai dengan Tahun Fiskal 2008 sektor pertahanan negara belum cukup untuk melakukan modernisasi pertahanan sebagaimana tuntutan kebutuhan. Secara nominal, anggaran pertahanan negara mengalami peningkatan, namun sesungguhnya peningkatan tersebut terjadi pada belanja rutin, sementara kenaikan pada belanja modal sangat kecil sehingga tidak memberikan efek untuk modernisasi pertahanan dan peningkatan profesionalitas TNI.
Kondisi tersebut berakibat terhadap kondisi Alutsista TNI dan profesionalisme TNI; selain jumlah maupun kandungan teknologi yang masih memprihatinkan, banyak Alutsista TNI yang sudah sangat tua dan sudah tidak Iayak lagi untuk digunakan. Sebagian besar Alutsista TNI AD, TNI AL dan TNI AU bahkan berada dalam kondisi kritis karena telah melampaui batas usia pakai, sementara penggantinya belum slap. Jika dihadapkan dengan revolusi di bidang militer (RMA) yang maju pesat dan karakteristik ancainan yang sangat kompleks, kondisi kekuatan pertahanan Indonesia saat ini jauh di bawah kebutuhan pokok, bahkan di bawah kekuatan pokok minimal sekalipun. Dari Aspek teknologi khususnya pada perkembangan RMA, pertahanan Indonesia mengalami ketertinggalan sekitar 25 tahun dari negara-negara lain di sekitar Indonesia khususnya negara¬negara yang lebih maju. Ketertinggalan tersebut terjadi pada Alutsista TNI yang
masih menggunakan asset lama dan dalam kondisi kritis dengan usia rata-rata diatas 25 tahun. Alutsista yang sudah tua seharusnya sudah tidak digunakan lagi atau dihapus (disposal) namun terpaksa masih dipertahankan karena proses penggantiannya berjalan sangat lambat. Di samping itu, kebutuhan pemenuhan, pemeliharaan, pengoperasian, maupun suku cadang Alutsista TNI masih bergantung pada negara-negara lain. Dad aspek profesionalisme, kualitas sumber daya manusia dan tingkat kesejahteraan prajurit belum memenuhi kebutuhan, sementara tuntutan tugas sangat kompleks.
Kondisi tersebut tidak saja berakibat terhadap kekuatan pertahanan yang berada di bawah standar penangkalan bahkan berada di bawah kekuatan pokok pertahanan minimal, tetapi juga berdampak terhadap kualitas profesionalisme TNI. Sementara itu diperhadapkan dengan tantangan tugas pertahanan yang semakin kompleks terutama bentangan wilayah Indonesia yang sangat luas, serta konfigurasi wilayah Indonesia sebagai negara kepulauan yang terbuka dan dapat dimasuki dari segala penjuru memiliki implikasi pertahanan negara yang sangat besar. Konsekuensi logis dari konfigurasi wilayah Indonesia tersebut, maka pertahanan Indonesia harus memiliki efek penangkalan yang maksimal balk manusia (men-power), Alutsista maupun anggaran.

POKOK-POKOK KEBIJAKAN PENYELENGGARAAN PERTAHANAN NEGARA

6. Kepentingan Nasional
Geopolitik dan geostrategi Indonesia yakni Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional merupakan cara pandang bangsa Indonesia untuk melihat Indonesia sebagai satu kesatuan yang utuh dalam wadah NKRI yang berada di tengah dinamika global dan regional untuk mampu mempertahankan did serta menjadi pemeran dalam dinamika globalisasi. Kondisi geografi Indonesia yang terletak di tengah kepentingan masyarakat internasional dan menjadi salah satu pelintasan utama dunia memiliki posisi yang sangat strategis sehingga merupakan faktor yang mempengaruhi dinamika politik, ekonomi, dan keamanan baik pada tataran internasional maupun domestik.
Dengan merujuk pada tujuan pembentukan pemerintah negara Republik Indonesia serta geopolitik dan geostrategi Indonesia sebagai negara kepulauan, maka kebutuhan akan terpelihara dan terjaganya keberlangsungan hidup bangsa dan negara serta tegaknya NKRI merupakan kepentingan nasional yang bersifat
mutlak yang harus ditegakkan. Di samping kepentingan yang bersifat mutlak tersebut Indonesia juga memiliki kepentingan nasional yang bersifat dinamis yakni terjaminnya kelancaran dan keamanan pembangunan nasional yang berkelanjutan guna mewujudkan Indonesia yang mandiri, berdaya saing, dan berperadaban tinggi. Atas dasar itu maka pertahanan negara sebagai fungsi pemerintahan negara diselenggarakan untuk mewujudkan tujuan dibentuknya pemerintah negara RI sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945.

7. Keamanan Nasional
Keamanan nasional merupakan hal yang hakiki dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Keamanan nasional merupakan fungsi pemerintahan negara dalam menciptakan stabilitas nasional yakni kondisi yang aman, tenteram, dan damai. Untuk menciptakan stabilitas nasional tersebut ditempuh antara lain dengan penyelenggaraan pertahanan negara. Keamanan nasional merupakan fungsi yang melibatkan banyak unsur baik lembaga pemerintahan maupun masyarakat sehingga perlu dikelola dalam suatu sistem secara nasional. Dalam rangka itu pengaturan peran dan tataran kewenangan dari segenap unsur keamanan nasional serta keterpaduan usaha dalam menciptakan stabilitas nasional perlu diwadahi dalam peraturan perundang-undangan.
Pertahanan negara merupakan bagian dari penyelenggaraan keamanan nasional dalam menjamin keberlangsungan hidup bangsa dan negara dalam bingkai NKRI yang utuh, aman, tenteram dan damai. Oleh karena itu maka kebijakan penyelenggaraan pertahanan negara merupakan bagian integral dari kebijakan keamanan nasional yang implementasinya melalui sistem pertahanan semesta.

8. Sistem Pertahanan. Negara
Upaya pertahanan negara dilaksanakan dengan sistem pertahanan negara yakni sistem pertahanan yang bersifat semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional Iainnya. Sistem pertahanan semesta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman.
Sistem pertahanan semesta memadukan pertahanan militer dan pertahanan nirmiliter yang sating menyokong dalam menegakkan kedaulatan Negara, keutuhan wilayah NKRI, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman. Sejak NKRI
diprokiamasikan tanggal 17 Agustus 1945, telah terbukti bahwa upaya pertahanan negara melalui Sistem Pertahanan Semesta berhasil menghantarkan Indonesia menjadi negara merdeka dan berdaulat, dan dalam era globalisasi ini tetap merupakan sistem yang tepat bagi penyelenggaraan pertahanan Indonesia.
Upaya pertahanan yang bersifat semesta memberi ruang bagi setiap warga negara berdasarkan kesadaran akan hak dan kewajibannya untuk terlibat dalam upaya pertahanan negara. Kesemestaan diwujudkan melalui pelibatan seluruh rakyat dan segenap sumber daya nasional, sarana dan prasarana nasional, serta seluruh wilayah negara sebagai satu kesatuan pertahanan yang utuh dan menyeluruh. Sistem Pertahanan Negara yang bersifat semesta bercirikan kerakyatan, kesemestaan dan kewilayahan. Ciri kerakyatan terejawantahkan ke dalam orientasi pertahanan yang diabdikan oleh dan untuk kepentingan seluruh rakyat. Ciri kesemestaan mengandung makna bahwa seluruh sumber daya nasional didayagunakan bagi upaya pertahanan. Sedangkan ciri kewilayahan nampak dalam sistem gelar kekuatan pertahanan yang tersebar di seluruh wilayah NKRI sesuai kondisi geografi sebagai satu kesatuan pertahanan.

9. Doktrin dan Strategi Pertahanan Negara
Doktrin dan Strategi Pertahanan Negara merupakan perangkat untuk menuntun pembangunan, pembinaan dan penggunaan sistem pertahanan negara. Penyelenggaraan pertahanan negara merupakan proses yang sangat kompleks yang mencakup pengerahan dan penggunaan sumber daya nasional untuk tujuan penangkalan, penindakan dan pemulihan baik pada keadaan damai, keadaan darurat maupun pada masa perang. Untuk mengelola sistem pertahanan negara selain dengan peraturan perundang-undangan, juga melalui perangkat yang memiliki legalitas untuk menjadi pedoman yang menuntun setiap penyelenggara dan pelaku pertahanan negara. Berkaitan dengan itu, telah ditetapkan Doktrin Pertahanan Negara dan Strategi Pertahanan Negara sebagai instrumen untuk digunakan di Iingkungan Departemen Pertahanan dan TNI serta di seluruh instansi pemerintahan dalam Iingkup penyelenggaraan fungsi yang terkait dengan pertahanan negara. Doktrin Pertahanan Negara dan Strategi Pertahanan Negara berada pada tataran politis untuk memberi arah kepada doktrin militer dan strategi militer pada tingkat TNI serta doktrin dan strategi pada tingkat matra termasuk pengelolaan sumber daya nasional untuk pertahanan negara.
Doktrin Pertahanan Negara merefleksikan karakter pertahanan Indonesia yang digali dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia, serta nilai dan wawasan kebangsaan yang cinta tanah air, berani membela dan menjunjung tinggi hak dan martabat bangsa sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.
Selanjutnya, Strategi Pertahanan Negara merupakan pelaksanaan dari Doktrin Pertahanan Negara yang ditetapkan untuk memberi tuntunan dalam perancangan postur pertahanan negara, serta acuan dalam merancang strategi militer di tingkat TNI dan di tingkat matra.
Strategi pertahanan negara menekankan usaha pertahanan negara dalam kerangka usaha penangkalan, penindakan dan pemulihan, dengan lima sasaran strategis. Kelima sasaran strategis tersebut adalah usaha pertahanan negara untuk tujuan penangkalan, menghadapi kemungkinan ancaman militer berupa agresi, ancaman militer yang bukan agresi, ancaman nirmiliter serta untuk tugas perdamaian dunia. Dad kelima sasaran strategis tersebut, usaha pertahanan negara menekankan pada aspek penangkalan sebagai fokus untuk mencegah setiap ancaman baik militer maupun nirmiliter, balk yang datang dari luar maupun yang timbul di dalam negeri. Dalam konteks penangkalan, sistem pertahanan semesta dijabarkan ke dalam pertahanan militer dan pertahanan nirmiliter dalam satu keterpaduan usaha pertahanan negara yang utuh dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Usaha-usaha penangkalan diselenggarakan secara fungsional melalui pertahanan nirmiliter oleh unsur-unsur di luar unsur militer, serta dengan kehadiran unsur TNI yang kuat dan memiliki kemampuan tangkal yang didasarkan pada profesionalitas prajurit TNI serta digelar di seluruh wilayah Indonesia untuk memberi efek tangkal yang maksimal sehingga disegani kawan maupun lawan. Strategi Pertahanan Negara juga memberi arah bagi usaha pertahanan negara dalam pengerahan dan penggunaan kekuatan untuk merespons setiap ancaman nyata baik ancaman militer maupun ancaman nirmiliter termasuk bencana alam atau tugas perdamaian dunia.

10. Postur Pertahanan Negara
Postur pertahanan negara disusun berdasarkan strategi pertahanan negara yakni sistem pertahanan semesta yang merefleksikan kemampuan, kekuatan dan gelar kekuatan pertahanan. Postur pertahanan negara merupakan wujud penampilan kekuatan pertahanan negara yang mencerminkan kekuatan, kemampuan, dan gelar kekuatan pertahanan negara untuk dipedomani dalam perencanaan pembangunan kekuatan pertahanan. Postur pertahananThegara memadukan kekuatan, kemampuan, dan gelar kekuatan pertahanan militer serta kekuatan, kemampuan pertahanan nirmiliter sebagai satu kesatuan pertahanan negara yang terpadu untuk menghadapi ancaman militer dan ancaman nirmiliter.
Postur pertahanan militer adalah kekuatan reguler TNI yang merefleksikan jati diri sebagai tentara pejuang, tentara rakyat, tentara nasional dan tentara profesional. Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI yang berdasarkan Pancasila dan Undang¬Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Tugas pokok tersebut dilaksanakan melalui operasi militer perang dan operasi militer selain perang.
Postur pertahanan nirmiliter merupakan refleksi dari seluruh sumber daya nasional sebagai hasil pembangunan nasional di berbagai sektor. Unsur-unsur pertahanan nirmiliter berada dalam Iingkup wewenang dan tanggung jawab setiap instansi pemerintah di luar Departemen Pertahanan yang tertuang dalam rencana dan pelaksanaan pembangunan di sektor masing-masing. Dalam hal pembinaan kekuatan kekuatan pertahanan nirmiliter berada di bawah Departemen Pertahanan. Dalam rangka itu Dephan mengkoordinasikan dengan seluruh departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) guna sinkronisasi dan efektivitas pembinaan dan penyiapan kekuatan pertahanan nirmiliter.
Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung merupakan kekuatan pertahanan nirmiliter yang dibentuk dan disiapkan sejak dini berupa pemberdayaan potensi sumber daya nasional (SDM, SDA, SDB, serta sarana dan prasarana nasional) menjadi kekuatan pertahanan yang dapat memperbesar dan memperkuat Komponen Utama dalam menghadapi ancaman militer. Pada kondisi tertentu, kedua komponen tersebut dapat dikerahkan untuk menghadapi ancaman nirmiliter, khususnya untuk penanggulangan bencana dan operasi kemanusiaan Iainnya.
Pertahanan nirmiliter juga memiliki dimensi pertahanan untuk menghadapi ancaman nirmiliter. Sesuai bentuk dan jenis ancaman nirmiliter menempatkan unsur pemerintah di luar departemen pertahanan sebagai unsur utama dibantu oleh unsur lain dari komponen bangsa. Dalam menghadapi ancaman nirmiliter susunan pertahanan nirmiliter tidak diorganisasikan secara struktur seperti pertahanan militer dalam menghadapi ancaman militer, tetapi secara fungsional sesuai jenis dan bentuk ancaman yang dihadapi.

11. Pembangunan dan Pembinaan Kekuatan Pertahanan
Pembangunan dan pembinaan kekuatan pertahanan diarahkan pada pembangunan postur pertahanan negara untuk mewujudkan Sistem Pertahanan Semesta. Sasaran pembangunan postur pertahanan negara adalah terwujudnya kekuatan pertahanan negara pada suatu standar penangkalan (standard deterrence) yakni kekuatan pertahanan negara yang melampaui
kekuatan pokok minimum (MEF) untuk menangkal dan mengatasi agresi suatu negara terhadap NKRI. Postur pertahanan negara yang diproyeksikan pada standar penangkalan yakni kekuatan yang melampaui MEF memadukan pertahanan militer dan pertahanan nirmiliter.
Dalam kondisi keterbatasan anggaran pertahanan, pembangunan pertahanan negara diarahkan pada sasaran mendesak yang diprioritaskan pada pembangunan Komponen Utama untuk memenuhi kekuatan pokok minimum (minimum essential force) yang pelaksanaannya disesuaikan dengan ketersediaan alokasi anggaran pertahanan (minimum essential funding).
Pembangunan Komponen Utama. Pembangunan TNI sebagai Komponen Utama dalam menghadapi ancaman militer ditempatkan sebagai prioritas pembangunan pertahanan negara. Pembangunan kekuatan TNI diarahkan pada pembangunan berbasis kemampuan (capability-based defence) yakni kemampuan reguler TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan negara dalam menangkal dan menindak setiap ancaman militer dari luar atau yang timbul di dalam negeri.
Pembangunan TNI dalam dua Rencana Strategis Pertahanan Negara (Renstrahanneg) mendatang diproyeksikan pada pencapaian kekuatan pokok minimum (MEF) yang mencakup organisasi, personel, dan Alutsista sesuai alokasi anggaran pertahanan. Pada tahapan Renstra selanjutnya setelah dua Renstra pertama diatas, diproyeksikan untuk mencapai kekuatan diatas kekuatan pokok minimum dalam merespons tuntutan perkembangan RMA.
Dalam rangka mengakselerasi pencapaian kekuatan pokok minimum, maka pembangunan di bidang Alutsista diprioritaskan pada penggantian Alutsista yang berada dalam kondisi kritis dan tidak Iayak pakai, serta pemenuhan kebutuhan untuk pelaksanaan tugas-tugas pertahanan yang mendesak. Pembangunan kekuatan yang berefek pengembangan organisasi atau pembentukan kesatuan baru dilaksanakan berdasarkan urgensi kebutuhan pertahanan negara dalam dinamika tugas-tugas pertahanan yang diemban oleh TNI dalam menjalankan fungsi sebagai penangkal, penindak dan pemulih.
Pembangunan TNI dititikberatkan pada keterpaduan matra (Tri Matra Terpadu) untuk memungkinkan ketiga Angkatan dapat bersinergi dan sating mendukung secara maksimal. Keterpaduan matra mencakup perencanaan, operasi, pendidikan dan latihan termasuk dalam penyelenggaraan dukungan dan pengadaan Alutsista.
Dalam rangka pembinaan postur pertahanan militer, maka pembinaan TNI ditempatkan dalam kerangka TNI sebagai alat negara di bidang pertahanan yang menjalankan tugas negara atas dasar kebijakan dan keputusan politik pemerintah.
Dalam kerangka itu, pembinaan TNI diarahkan untuk mewujudkan profesionalitas prajurit. Indikator profesionalisme adalah tentara taat pada aturan, memiliki militansi tinggi terhadap tugas, terdidik, terlatih, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya yang layak oleh negara sehingga prajurit dapat mengonsentrasikan diri pada misi dan tugas yang diembannya. Selanjutnya prajurit TNI yang profesional adalah yang mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, tunduk pada pemerintah yang sah, dan menghargai hak asasi manusia serta ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang diratifikasi Indonesia sehingga menjadi kekuatan yang disegani minimal pada Iingkup kawasan Asia Tenggara dan kawasan yang mengitari wilayah NKRI. TNI sebagai alat negara bertugas untuk kepentingan negara dan diatas kepentingan daerah, suku, agama, ras, dan golongan.
Pembinaan pertahanan militer yakni TNI juga menyangkut organisasi untuk mewujudkan kinerja organisasi yang efektif. Dalam rangka itu, penataan organisasi pada jajaran Departemen Pertahanan dan TNI diarahkan pada terselenggaranya manajemen pengelolaan pertahanan negara yang berkualitas dan efektif dengan bercirikan kinerja tinggi serta tidak adanya tumpang tindih dalam penyelenggaraan peran, fungsi dan tugas. Juga pembenahan organisasi melalui penataan sistem rekrutmen terbebas dari kolusi dan nepotisme untuk memperoleh intake yang berkualitas dan pola pengarahan jabatan yang menganut merit-system dan kompetensi. Dalam pembenahan organisasi TNI diarahkan bukan untuk memperbesar kekuatan tetapi dititikberatkan untuk mewujudkan TNI yang profesional, berdaya tangkal, dan disegani kawan maupun lawan.
Pembangunan Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung. Dalam rangka mewujudkan sistem pertahanan semesta sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara maka Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung dipersiapkan dan dibangun sesuai kebutuhan dalam membangun daya tangkal pertahanan negara. Pembangunan Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung merupakan bagian yang utuh dari pembangunan Postur Pertahanan Negara dan dilaksanakan guna perwujudan Sistem Pertahanan Semesta. Komponen Cadangan dibangun dengan pendekatan yang realistis berdasarkan kebutuhan memperbesar dan memperkuat Komponen Utama yang memberi efek daya tangkal serta mempertimbangkan kemampuan sumber daya nasional termasuk anggaran pertahanan. Komponen Cadangan dibentuk secara bertahap sesuai dengan kebutuhan tiap-tiap matra, dengan penggelaran yang bersifat kewilayahan guna mewujudkan daya tangkal di tiap daerah sekaligus memudahkan pembinaannya.
Pembangunan Komponen Pendukung diarahkan pada keterpaduan pembangunan nasional sehingga kepentingan kesejahteraan dan pertahanan dapat terwadahi secara proporsional. Dalam rangka itu, pembangunan Komponen Pendukung diprioritaskan pada pengembangan industri pertahanan untuk mendorong kemandirian sarana pertahanan serta secara bertahap mengurangi ketergantungan dari produk luar negeri. Lingkup pembangunan Komponen Pendukung mencakup lima suku Komponen Pendukung yang terdiri atas Garda Bangsa, Tenaga Ahli/Profesi, Warga Negara lainnya, Industri Nasional, Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Buatan. Dalam rangka mewujudkan pertahanan Indonesia yang mandiri, maka langkah-Iangkah untuk mempercepat terwujudnya kemandirian Industri Pertahanan menjadi agenda pemerintah yang mendesak.
Dalam rangka pembangunan Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung penuntasan peraturan perundang-undangan sebagai landasan hukum bagi pengelolaan sumber daya nasional untuk pertahanan negara menjadi agenda mendesak bagi pemerintah.
Perekrutan Personel. Salah satu sikius dalam pembinaan kekuatan pertahanan adalah perekrutan personel yang penyelenggaraannya diarahkan pada pembangunan kekuatan pertahanan negara. Perekrutan personel untuk Komponen Utama merujuk pada postur pertahanan negara dalam format pembangunan TNI untuk memenuhi kekuatan pokok minimum (Minimum Essential Force). Perekrutan personel TNI dilaksanakan secara sistematis, transparan dan akuntabel yang diselaraskan dengan kebutuhan akan tuntutan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pertahanan/RMA. Perekrutan personel dari masyarakat umum untuk menjadi prajurit TNI diselenggarakan dengan merujuk pada peraturan perundang¬undangan serta memperhatikan keterwadahan suku-suku dan agama bagi terpeliharanya jati diri TNI sebagai tentara nasional.
Pembangunan Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung yang berefek perekrutan personel dilaksanakan secara bertahap sesuai kebutuhan pertahanan negara yang mendesak serta kemampuan sumber daya yang tersedia.
Pengadaan Barang dan Jasa dan Mekanisme Pengambilan Keputusan. Kondisi kekuatan pertahanan negara saat ini masih berada di bawah standar kemampuan minimal, sehingga pengadaan barang dan jasa di proyeksikan bagi pembangunan kapabilitas pertahanan (Capability based defence) termasuk untuk mendukung kepentingan pertahanan dalam menegakkan kedaulatan negara di wilayah perbatasan. Pengadaan barang dan jasa oleh Dephan, Mabes TNI dan Angkatan harus didasarkan pada proses standadisasi militer serta melalui sertifikasi kelaikan militer bagi setiap Alutsista.
Dengan anggaran pertahanan yang minim maka penyelenggaraan barang dan jasa harus selektif dan diarahkan pada kebutuhan yang benar-benar mendesak dan bernilai strategis. Penentuan skala prioritas diarahkan untuk mengganti Alutsista yang saat ini dalam kondisi kritis. Pengadaan barang dan jasa memprioritaskan produk dalam negeri dan memberdayakan industri dalam negeri dengan menetapkan portofolio produk pertahanan sesuai peta jejak pembinaan industri pertahanan. Pengadaan Alutsista produk luar negeri dilaksanakan secara selektif termasuk negara produsen yang memberi jaminan alih teknologi-joint production untuk penyertaan local content secara maksimal serta meminimalisir intervensi negara produsen dalam penggunaan suatu Alutsista.
Pengadaan Alutsista dengan pembiayaan yang bersumber dari Kredit Ekspor diselenggarakan dengan memaksimalkan pelibatan industri dalam negeri. Pengadaan secara G-to-G (government-to-government) diselenggarakan dalam skema multiyears untuk menjamin tuntas pemenuhan kebutuhan Alutsista secara kesisteman.
Dalam Kerangka pemajuan industri pertahanan maka proses pengadaan merupakan salah satu pintu utama bagi akuisisi teknologi yang terdiri atas pengembangan dan alih teknologi. Proses dan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa diselenggarakan secara profesional untuk pemenuhan kebutuhan pembangunan kekuatan pertahanan negara dengan mengacu pada Postur Pertahanan Negara dan Renstra Pertahanan Negara.
Penyelenggaraan pengadaan barang dan jasa dilaksanakan melalui mekanisme pengambilan keputusan dalam wadah Dealing Center Management (DCM). DCM merupakan wadah pengambilan keputusan yang merefleksikan pelibatan peran dan fungsi unsur-unsur dalam suatu unit organisasi sesuai fungsi dan kompetensinya. Mekanisme pengambilan keputusan melalui DCM diselenggarakan dengan tujuan untuk menghasilkan keputusan yang profesional dan akuntabel serta mencegah single-handed decision. DCM mencakup semua hal yang menyangkut penyelenggaraan pertahanan negara dan berada di semua level pengambilan keputusan di Departemen Pertahanan, Mabes TNI dan Angkatan.

12. Pengerahan dan Penggunaan Kekuatan Pertahanan
Pengerahan dan penggunaan kekuatan pertahanan didasarkan pada peraturan perundang-undangan serta dalam kerangka sistem pertahanan semesta. Kewenangan pengerahan kekuatan pertahanan berada di tangan Presiden yang pelaksanaannya berdasarkan bentuk dan sifat ancaman serta tugas-tugas pertahanan yang mendesak.
Dalam menghadapi atau menanggulangi ancaman yang membahayakan kelangsungan hidup bangsa dan negara sebagai akibat ancaman balk dari luar maupun dari dalam negeri yang tidak dapat diatasi dengan kekuatan reguler yakni TNI, maka pengerahan kekuatan pertahanan diwujudkan dalam bentuk tindakan mobilisasi terhadap seluruh atau sebagian sumber daya nasional yang telah dipersiapkan dan dibina sebagai komponen pertahanan negara berdasarkan peraturan perundang-undangan. Tindakan demobilisasi merupakan bentuk penghentian pengerahan dan penghentian penggunaan sumber daya nasional yang telah dimobilisasi apabila ancaman telah dapat diatasi, dan dilakukan secara bertahap guna memulihkan fungsi dan tugas setiap unsur seperti sebelum berlakunya mobilisasi.
Pengerahan kekuatan pertahanan melalui mobilisasi dan demobilisasi dilaksanakan terhadap sumber daya nasional yakni Komponen Cadangan yang telah dipersiapkan secara dini oleh pemerintah. Sedangkan untuk Komponen Pendukung pengerahannya secara langsung atau tidak langsung untuk meningkatkan kekuatan dan kemampuan Komponen Utama dan Komponen Cadangan.
Penggunaan kekuatan pertahanan militer yakni TNI berada di tangan Panglima TNI dan dilaksanakan dalam rangka operasi militer balk Operasi Militer untuk Perang, maupun Operasi Militer Selain Perang serta mengacu kepada kebijakan umum penggunaan kekuatan pertahanan, doktrin dan strategi pertahanan negara. Penggunaan kekuatan TNI diselenggarakan dalam format Tri Matra Terpadu yang diwujudkan di dalam penyelenggaraan pendidikan atau latihan, penggunaan Alutsista, operasi, penyediaan informasi dan dukungan Iainnya. Keterpaduan antara kekuatan pertahanan militer dan pertahanan nirmiliter diwujudkan melalui keterpaduan Komponen Utama, Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung dalam kerangka sistem pertahanan semesta dalam penyelenggaraan operasi militer untuk menghadapi atau menanggulangi ancaman militer, serta dalam kerangka tugas perbantuan TNI kepada unsur lain dalam kerangka menghadapi atau menanggulangi ancaman nirmiliter.
Penggunaan Komponen Utama, Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung oleh Panglima TNI dilakukan berdasarkan kebijakan umum tentang penggunaan kekuatan pertahanan negara yang dirumuskan oleh Menteri Pertahanan. Untuk kebutuhan pengerahan dan penggunaan kekuatan, maka penyelenggaraan pertahanan negara diarahkan untuk secara dini mempersiapkan kekuatan pertahanan negara yang dilaksanakan dengan kebijakan pertahanan negara yang mencakup penganggaran, pengadaan, perekrutan, pengelolaan sumber daya nasional serta pembinaan teknologi dan industri pertahanan yang dikoordinasikan secara fungsional atau lintas instansi.
Penggunaan kekuatan TNI di luar wilayah NKRI untuk misi kemanusiaan atau perdamaian dunia dilaksanakan berdasarkan keputusan politik pemerintah dengan mempertimbangkan kemampuan TNI serta urgensi tugas pertahanan di dalam negeri. Untuk menjamin kesiapan pasukan dalam mengemban misi kemanusiaan atau perdamaian dunia, diselenggarakan dalam kerangka pembangunan kekuatan pertahanan yang pembinaannya secara terpusat dan terpadu oleh Mabes TNI melalui Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian.
Penggunaan kekuatan TNI di dalam wilayah NKRI berada di dalam kerangka penyelenggaraan fungsi pertahanan negara yang mencakup fungsi penangkalan, penindakan dan pemulihan serta perbantuan kemanusiaan (civic mission). Penggunaan kekuatan TNI untuk penangkalan, penindakan dan pemulihan serta perbantuan kemanusiaan (civic mission) diselenggarakan oleh Panglima TNI dengan merujuk pada doktrin dan strategi pertahanan negara serta doktrin dan strategi pertahanan militer. Gelar kekuatan TNI diselenggarakan berdasarkan doktrin dan strategi pertahanan negara serta doktrin dan strategi pertahanan militer sesuai perkiraan ancaman dan kondisi serta konfigurasi Indonesia sebagai negara kepulauan.
Dalam sistem pemerintahan negara menempatkan pertahanan negara sebagai sektor yang dikelola secara terpusat dan tidak diotonomikan. Dalam kerangka itu gelar kekuatan TNI di seluruh wilayah Indonesia berada di dalam pengelolaan pertahanan negara sebagai fungsi yang terpusat dan tidak mengenal kekuatan organik dan non organik yang bersifat kedaerahan atau kewilayahan. TNI sebagai alat negara dapat digelar di seluruh wilayah Indonesia berdasarkan strategi pertahanan negara dalam kerangka penangkalan serta kecepatan penggelaran operasional sesuai perkiraan ancaman yang penggelarannya merupakan tanggung jawab pemerintah Indonesia sebagai pengejawantahan kedaulatan negara.

13. Peningkatan Profesionalisme dan Kesejahteraan Prajurit
Tantangan global yang sangat kompleks terutama perkembangan Iptek yang sangat cepat harus direspons dengan pembangunan prajurit TNI yang profesional. Sasaran pembangunan profesionalitas prajurit TNI mencakup aspek keterampilan teknis yang menjadi syarat mutlak dalam pelaksanaan suatu operasi militer, serta faktor nilai untuk membentengi prajurit pada aspek-aspek etika dan moral serta taat hukum.
Untuk mewujudkan pencapaian sasaran tersebut, indikator profesionalisme TNI yang meliputi: prajurit yang terdidik dan terlatih, diperlengkapi dengan baik,
dipenuhi kesejahteraannya, tidak berpolitik praktis dan tidak berbisnis harus dijabarkan secara fungsional dengan menata kualitas penyelenggaraan sistem pendidikan dan latihan, operasi, dan pembangunan Alutsista serta pembinaan personel melalui penerapan merit-system berdasarkan kompetensi secara konsisten. Penyelenggaraan latihan menentukan profesionalisme prajurit TNI dalam melaksanakan tugas OMP dan OMSP. Dalam kerangka itu dukungan untuk latihan pada kesatuan-kesatuan TNI harus ditingkatkan dan diproyeksikan dalam anggaran yang memadai. Untuk mewujudkan keterpaduan seluruh matra serta mencerminkan sistem pertahanan semesta, maka pelaksanaan latihan gabungan TNI diselenggarakan setiap lima tahun sekali.
Profesionalisme dan kesejahteraan tidak dapat dipisahkan dan selalu saling berhubungan. Tingkat kesejahteraan prajurit saat ini masih sangat rendah, sehingga berdampak terhadap pencapaian sasaran pembangunan profesionalisme. Dalam menyikapi keterbatasan anggaran pertahanan, pengadaan barang dan jasa harus secara selektif, mencegah pengadaan yang tidak perlu dan dikontrol melalui mekanisme DCM agar efisiensi anggaran pertahanan terarahkan bagi peningkatan profesionalisme dan kesejahteraan prajurit. Fungsi-fungsi yang membidangi perencanaan anggaran pertahanan harus mampu merancang skema perbaikan kesejahteraan prajurit dan mengomunikasikan kepentingan pertahanan dengan instansi terkait agar komitmen untuk meningkatkan kesejahteraan prajurit dapat terwujud. Sejalan dengan itu usaha koperasi tetap diselenggarakan di jajaran Dephan dan TNI, dan diarahkan untuk berperan dalam mewujudkan kesejahteraan prajurit.

14. Keikutsertaan Warga Negara Dalam Upaya Bela Negara
Upaya untuk mempertahankan NKRI tidak cukup hanya oleh TNI, tetapi ditentukan oleh keikutsertaan setiap warga negara Indonesia sesuai bidang dan profesinya masing-masing dalam upaya bela negara sebagai syarat mutlak terbentuknya daya tangkal bangsa.
Upaya bela negara diarahkan pada pembentukan sikap, perilaku dan semangat kebangsaan yang terefleksikan dalam kehidupan sehari-hari untuk menjaga kebhinekaan masyarakat Indonesia dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa, cinta tanah air, rela berkorban bagi bangsa dan negara, melestarikan budaya dan cinta produk dalam negeri. Keikutsertaan warga negara dalam upaya bela negara untuk pertahanan negara diselenggarakan melalui pendidikan kewarganegaraan, pelatihan dasar kemiliteran, pengabdian sebagai
prajurit TNI, dan pengabdian sesuai dengan profesi. Dalam kerangka itu,
pembinaan diselenggarakan sejak dini bagi seluruh warga negara dalam lingkungan pendidikan (formal, nonformal dan informal), lingkungan pekerjaan, lingkungan masyarakat dan lingkungan keluarga.
Pembangunan kesadaran bela negara merupakan fungsi lintas lembaga yang selama ini belum terpadu sehingga pencapaian sasaran belum maksimal. Untuk mewujudkan keterpaduan tersebut Dephan menjadi penjuru untuk mengoordinasikan perencanaan dan pelaksanaannya dengan instansi pemerintah yang lain secara fungsional dan berkesinambungan balk di pusat maupun di daerah.

15. Pengelolaan Sumber Daya Nasional
Kesinambungan usaha pertahanan sangat tergantung pada ketersediaan sumber daya nasional. Pengelolaan sumber daya nasional diarahkan untuk mentransformasikan sumber daya manusia, sumber daya alam dan buatan, sarana dan prasarana, dan wilayah negara menjadi kekuatan pertahanan negara. Pengelolaan sumber daya nasional merupakan fungsi lintas lembaga yang selama ini belum terpadu sehingga pencapaian sasaran belum maksimal. Untuk mewujudkan keterpaduan tersebut perlu dikoordinasikan secara fungsional serta berkesinambungan dalam perencanaan dan pelaksanaan di pusat dan di daerah.
Sumber daya manusia sebagai inti kekuatan pertahanan negara dipersiapkan secara dini untuk ditransformasikan menjadi komponen pertahanan negara dalam menghadapi ancaman militer serta fungsi-fungsi untuk menghadapi ancaman nirmiliter.
Sumber daya alam dan sumber daya buatan termasuk sarana dan prasarana fisik dipersiapkan secara dini untuk ditransformasikan menjadi kekuatan pertahanan negara yang diproyeksikan bagi kesiapan logistik pertahanan dengan memperhatikan prinsip-prinsip berkelanjutan, keragaman dan produktivitas lingkungan hidup, sehingga berguna pula bagi kepentingan kesejahteraan dan keamanan. Wilayah negara dipersiapkan secara dini dan dikelola dalam kerangka keterpaduan penataan ruang untuk ditransformasikan menjadi ruang pertahanan bagi pembinaan kemampuan pertahanan yang digunakan instalasi militer dan latihan militer yang strategis dan permanen.
Pertahanan yang sangat fundamental bagi suatu bangsa adalah pertahanan nilai. Dalam kerangka itu, sumber daya nasional berupa pranata, prinsip, dan kondisi, balk moral maupun fisik yang menjadi identitas dan jati did bangsa dikelola dan dibangun melalui keterpaduan untuk mewujudkan karakter bangsa yang mandiri berdaya saing dan berperadaban tinggi.

16. Pembinaan Teknologi dan Industri Pertahanan
Pembangunan pertahanan negara yang berbasis kemampuan (capability based defence) diarahkan untuk mencapai kemampuan dan daya tangkal yang maksimal, sekaligus untuk mewujudkan kemandirian pertahanan negara. Pemenuhan kebutuhan sarana pertahanan terutama Alutsista TNI masih mengandalkan produk yang bersumber dari negara lain sehingga ketergantungan terhadap negara lain masih cukup besar.
Kemandirian pertahanan negara diwujudkan dengan mendorong pemajuan teknologi dan industri pertahanan nasional, selain untuk kepentingan pertahanan secara langsung dalam pemenuhan kebutuhan Alutsista, juga diarahkan untuk memberi efek pertumbuhan ekonomi serta kemandirian dan daya saing bangsa. Industri pertahanan tidak dapat diwujudkan secara sepihak oleh sektor pertahanan tanpa keterlibatan sektor-sektor yang lain. Pemberdayaan industri nasional untuk pembangunan pertahanan diselenggarakan dalam format kerja sama di antara tiga pilar industri pertahanan, yaitu badan penelitian dan pengembangan serta perguruan tinggi, industri, dan penentu kebijakan.

17. Kerja sama Pertahanan
Penyelenggaraan pertahanan negara diarahkan untuk mewujudkan kesatuan usaha pertahanan negara yang berefek ke dalam sekaligus ke luar. Pada tataran keluar, melalui kerja sama pertahanan yang diarahkan sebagai modalitas untuk membangun rasa saling percaya (Confidence Building Measure-CBM) sehingga menjadi sarana untuk mencegah atau mereduksi potensi konflik antar bangsa.
Kerja sama pertahanan diselenggarakan dalam kerangka kepentingan pertahanan, dan diarahkan untuk sebesar-besarnya memberdayakan diplomasi pertahanan untuk membuka ruang-ruang kerja sama sampai tingkat militer bagi pembangunan kekuatan pertahanan dan profesionalisme TNI, serta efek pembangunan nasional secara luas. Kerja sama pertahanan juga diarahkan untuk kepentingan nasional dalam mempromosikan perdamaian. dunia dan stabilitas keamanan regional.
Dalam pembangunan kekuatan, kerja sama pertahanan diarahkan untuk membangun hubungan mutualisme dengan negara-negara yang memiliki kemampuan teknologi militer untuk menjadi sumber pengadaan Alutsista, khususnya untuk jenis-jenis yang belum dapat diproduksi oleh industri pertahanan dalam negeri. Kerja sama pertahanan yang terkait dengan Alutsista harus dapat memberi bobot
alih teknologi bagi kemandirian pertahanan Indonesia. Dalam hal ini perlu diikuti dengan skema yang jelas yang menyangkut anggaran, keleluasaan dalam penggunaan Alutsista dan sasaran waktu yang dapat dicapai bagi proses alih teknologi. Kerja sama pertahanan yang diarahkan untuk tujuan pembangunan profesionalisme prajurit mencakup bidang pendidikan dan latihan, pertukaran informasi, ahli, dan latihan bersama, termasuk kerja sama dalam bentuk joint production yang diproyeksikan untuk alih teknologi.
Kerja sama pertahanan juga diarahkan untuk mempromosikan perdamaian dunia dan perwujudan stabilitas keamanan regional yang pelaksanaannya melalui keikutsertaan pasukan pemelihara perdamaian dan pemantau perdamaian dalam misi-misi PBB, pemberdayaan diplomasi pertahanan dalam fora regional dan internasional untuk tujuan pencegahan atau resolusi konflik sesuai kebijakan luar negeri Indonesia yang bebas aktif.

18. Penganggaran
Pembangunan pertahanan negara merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional yang dibiayai dari APBN. Minimnya alokasi anggaran pertahanan selama ini telah berakibat pada tidak optimalnya pencapaian pembangunan kemampuan pertahanan negara. Penentuan alokasi dukungan anggaran lebih didasarkan pada faktor kemampuan keuangan negara, bukan berdasarkan program pembangunan sesuai kebutuhan, sehingga pembangunan kekuatan dan kemampuan pertahanan negara menganut sistem budget oriented, bukan program oriented.
Anggaran pertahanan dalam beberapa dekade terakhir di bawah 1% dari Produk Domestik Bruto (PDB), bahkan pada tahun 2008 berada pada rasio 0,79%, atau hanya 32,21% dari kebutuhan minimum. Dad alokasi anggaran pertahanan tersebut, sekitar 67% digunakan untuk belanja pegawai, sehingga untuk pembangunan pertahanan yang berefek modernisasi sangat kecil karena alokasi belanja modal yang 33% lebih banyak digunakan untuk pemeliharaan Alutsista yang sudah tua. Jumlah tersebut terbilang sangat kecil dibanding dengan anggaran pertahanan negara-negara kawasan Asia Tenggara yang pada umumnya memiliki anggaran Pertahanan diatas 2% dari PDB.
Dalam menyikapi kondisi minimnya alokasi anggaran pertahanan, maka arah kebijakan penganggaran diorientasikan pada pemenuhan tuntutan yang bersifat prioritas dan mendesak dengan mengedepankan faktor efisiensi. Untuk mewujudkan kekuatan pokok pertahanan yang mampu mengawal NKRI serta mengemban tugas-tugas lainnya di masa mendatang, maka proyeksi anggaran
pertahanan dalam dua sampai tiga tahun mendatang akan terus diupayakan untuk mencapai pada kisaran diatas 1% dari PDB dan secara bertahap dalam sepuluh tahun mendatang sampai diatas 2%.

19. Pengawasan
Pengawasan merupakan fungsi manajemen pertahanan negara yang sangat penting dalam mengontrol penyelenggaraan pertahanan negara yang efektif, bersih, dan akuntabel. Fungsi pengawasan diselenggarakan melalui pengawasan internal dan eksternal yang dipadukan dengan fungsi pengawasan legislatif.
Untuk pencapaian sasaran pengawasan secara maksimal, maka pengawasan sebagai fungsi komando diberdayakan secara bersinergi dengan fungsi pengawasan internal dan eksternal yang sudah melembaga. Penyelenggaraan pengawasan internal diarahkan dengan mengedepankan pelibatan peran pejabat eselon I dan II mulai tahap perencanaan, pelaksanaan hingga pengakhiran secara lebih bertanggung jawab untuk memastikan fungsi pengawasan berjalan secara efektif di setiap simpul-simpul kontrol.

20. Pernyataan Risiko
Pembangunan kekuatan pertahanan negara yang berbasis kemampuan (capability based defence) diprioritaskan pada pembangunan Alutsista untuk memenuhi kekuatan pokok minimum (minimum essential force-MEF) serta profesionalisme prajurit TNI. Kondisi Alutsista TNI yang sebagian besar kandungan teknologinya memprihatinkan bahkan di bawah standar penangkalan sehingga pemenuhan kekuatan pokok minimum di bidang Alutsista merupakan kebutuhan mendesak yang diproyeksikan dalam dua Renstra pertama yakni sampai 2019.
Apabila proyeksi ini tidak tercapai maka kondisi Alutsista TNI akan semakin memburuk yang berakibat terhadap penurunan kemampuan pertahanan penangkalan (deterrence) dan penindakan dalam mengawal NKRI. Lemahnya kekuatan pertahanan negara dapat menimbulkan risiko bagi keberlangsungan hidup NKRI, kepentingan nasional tidak terlindungi secara baik, serta berdampak terhadap posisi tawar Indonesia dalam pergaulan internasional.